Translate

Jumat, 18 November 2016

Penelitian: Teologi Masyarakat Adat Kampung Cikondang, Pangalengan, Bandung


Ritual Wuku Taun Masyarakat Adat Kampung Cikondang
Ritual Wuku Taun Masyarakat Adat Kampung Cikondang

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Menurut Koentjaraningrat, yang disebut masyarakat bukan hanya suatu perkumpulan dimana ada interaksi saja, melainkan harus ada suatu ikatan khusus. Ikatan tersebut bisa berupa pola tingkah laku yang khas dan bersifat kontinu, atau sesuatu yang sudah menjadi adat istiadat[1].
Di pihak lain, Krech, Cruthchfield, dan Ballachey mengatakan bahwa masyarakat dicirikan oleh adanya interaksi, kegiatan, tujuan, keyakinan, dan tindakan sejumlah manusia yang sedikit banyak berkecenderungan sama. Dalam masyarakat tersebut terdapat ikatan-ikatan berupa tujuan, keyakinan, tindakan yang terungkap pada interaksi sosial manusianya[2].
Jadi masyarakat merupakan suatu kolektivitas manusia yang melakukan interaksi dan mempunyai tujuan yang sama serta telah adanya jalinan yang berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama. Mereka menempati suatu kawasan dan mempunyai suatu kebudayaan. Kebudayaan disini bisa berupa tradisi, nilai-nilai, norma-norma, upacara-upacara tertentu dan lain-lain[3].  
Seiring berjalannya waktu, dinamika sosial merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat dengan arahnya mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan zaman ini, kini sudah sampai kepada akhir abad kedua puluh dan mulai masuk kepada abad kedua puluh satu. Abad ini, menurut Yasraf Amir Pilliang dinamakan dengan “milenium ketiga”. Dimana pada saat ini masyarakat modern sudah mengalami puncaknya, dan mulai melihat kembali ke peradaban-peradaban sebelumnya. Zaman ini disebut zaman postmodern.
Sebelum mendefinisikan dan membahas masyarakat postmodern, tampaknya masyarakat modern masih lebih tepat dibahas kaitannya dengan masyarakat tradisional yang akan menjadi point utama. Mengingat juga bahwa masyarakat postmodern baru saja memulai peradabannya dan belum begitu mapan. Sementara zaman ini masih kuat dipengaruhi oleh ke-modern-an.
Masyarakat modern merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dengan frekuensi yang tinggi. Masyarakat ini sudah mempunyai berbagai jaringan komunikasi seperti jaringan jalan raya, jaringan jalan kereta api, jaringan perhubungan udara, jaringan perhubungan laut, dan berbagai macam jaringan telekomunikasi yang memudahkan warganya berinteraksi jarak jauh[4].
Dengan adanya sarana komunikasi seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh dari luar akan dengan mudah dapat masuk ke dalam suatu masyarakat modern. Westernisasi adalah salah satu bukti konkrit dari pengaruh tersebut. Westernisasi merupakan suatu kebudayaan Barat yang memasuki kebudayaan-kebudayaan lokal. Hampir seluruh kebudayaan di dunia Di pengaruhi oleh kebudayaan Barat. Tentu saja Westernisasi ini ada baiknya dan ada buruknya. Hal ini merupakan dampak dari globalisasi.
Globalisasi sendiri merupakan sesuatu yang niscaya dimana peradaban manusia semakin tinggi, maka alat-alat pemenuhan kebutuhanpun semakin canggih. Modernisasi sebagai bentuk globalisasi tidak bisa dihindari, karena ini merupakan perkembangan zaman. Modernisasi dalam bentuk apapun menjadi sebuah kewajaran. Karena dengannya, hidup manusia menjadi mudah.  
Namun disudut lain, dampak dari modernisasi ini, kearifan lokal dalam sebuah kebudayaan seringkali menjadi pudar, bahkan hilang, karena dianggap kuno. Banyak orang tidak menghiraukannya dan cenderung tidak peduli, yang pada akhirnya mereka kehilangan identitas kebudayaan. Suatu wilayah yang kehilangan kearifan lokal, maka akan kehilangan identitas kebudayaannya. Dari sinilah kearifan lokal dirasakan penting. Walaupun kuno, akan tetapi kebanyakan di dalam kearifan lokal itu mengandung nilai-nilai positif. Betapapun derasnya arus modernisasi, jika kearifan lokal tetap dipertahankan, maka dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin terjadi, misalnya kehilangan identitas kebudayaan dalam suatu wilayah dan krisis moral.
Di dalam masyarakat modern, Hal ini seringkali terjadi. Banyak tradisi zaman dahulu yang dilupakan begitu saja. Nilai-nilai kearifan lokal hilang tanpa jejak. Hanya segelintir orang saja yang masih mempertahankannya. Mereka itu biasa disebut dengan masyarakat tradisional.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang menjungjung tinggi leluhurnya, dan memegang teguh adat istiadat. Mereka masih menjaga kekayaan warisan dari para leluhur dan enggan mengorbankannya, karena warisan itu merupakan sesuatu yang mereka anggap berharga seperti nilai-nilai moral, dan kebersahajaan hidup. Mereka senantiasa saling menjaga keharmonisan dengan sesama, dengan alam bahkan dengan Tuhan. Keharmonisan tersebut akan tetap terjaga jika tradisi leluhur tetap dilaksanakan, sebaliknya keharmonisan akan hancur jika tradisi leluhur sudah dilanggar. Maka pelanggaran terhadap tradisi akan mendapat hukuman yang bukan hanya berupa fisik seperti teguran, pengucilan atau pengusiran, tetapi juga berupa batin, mengingat ketergantungan antar warga masyarakat sangat kuat[5].
Masyarakat tradisional mempunyai kesadaran mendalam terhadap alam dan sesama. Karena itu mereka hidup dalam kesederhanaan dan perdamaian. Namun masyarakat tradisional cenderung bersifat tertutup, dan menaruh curiga terhadap budaya-budaya asing. Karena budaya asing dianggap akan merusak keharmonisan warga masyarakatnya.
Salah satu ciri dari masyarakat tradisional adalah terjaganya nilai keagamaan yang dianut. Seperti dikemukakan oleh Soejono Soekanto, masyarakat tradisional biasanya identik dengan masyarakat pedesaan. Sementara masyarakat pedesaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) warga memiliki hubungan yang lebih kuat, 2) sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan, 3) umumnya hidup dari pertanian, 4) golongan orang tua memegang peranan penting, 5) dari sudut pemerintah, hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat informal, 6) perhatian masyarakat lebih pada keperluan utama kehidupan, 7) kehidupan keagamaan lebih kental, 8) banyak berurbanisasi ke kota karena ada faktor yang menarik dari kota[6].
Koentjaraningrat juga mengemukakan hal yang sama, bahwa sistem religi merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah masyarakat. Secara antropologis, dalam sistem religi itu terdapat konsep teologi (sistem keyakinan) yang dianut. Sistem religi menurut Koentjaraningrat ditandai dengan adanya: 1) emosi keagamaan. Yaitu getaran jiwa yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan religi, 2) sistem keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang kekuatan supranatural seperti dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat dan tanda-tandanya. Konsepsi manusia tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan konsepsi manusia tentang hidup dan maut, alam  akhirat dan lain-lain, 3) sistem upacara, yang terdiri dari: tempat, waktu, benda-benda, alat-alat, dan pelaku, dan 4) pelaku, yang meliputi masalah pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang lain, hubungan dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan bagi warganya[7].  
B.     Rumusan Masalah
Dari latarbelakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal, biasa disebut masyarakat tradisional. Di dalam kehidupan masyarakat tradisional itu, terdapat konsep teologi yang dianut, yang kemudian mempengaruhi praktik hidup mereka. Hal tersebut juga terjadi di masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Sebuah masyarakat adat yang dijadikan objek penelitian kali ini. Dengan demikian, diajukan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana konsep teologi masyarakat adat Cikondang?
2.      Bagaimana konsep teologi tersebut mempengaruhi praktik hidup masyarakat adat Cikondang?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.       Mengetahui konsep teologi masyarakat adat Cikondang.
2.      Mengetahui seberapa jauh konsep teologi tersebut mempengaruhi praktik hidup masyarakat adat Cikondang.

D.    Kajian Pustaka
Berdasarkan penilitian tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, yang berjudul: Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya, yang terbit tahun: 1999/2000. Kampung Cikondang ini memiliki sistem teologi tentang Karuhun. Karuhun inilah yang dipercayai sebagai pelindung (ngauban) anak-cucu mereka. Mereka dikenal dengan nama Eyang Pameget dan Eyang Istri. Dimana mereka yang pertama kali membuka hutan Cikondang ini menjadi pemukiman seperti sekarang, sekaligus menyandang posisi sebagai wali dalam penyebaran agama Islam di kawasan Bandung Selatan, khususnya kampung Cikondang. Kepercayaan ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam bentuk ritual-ritual dan pantangan atau tabu-tabuan yang berlaku di bumi adat dan sekitarnya.
E.     Metode Penelitian
1.      Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode fenomenologi. Yang dimaksud dengan metode fenomenologi adalah salah satu jenis metode penelitian kualitatif, dimana peneliti mengumpulkan data dengan observasi partisipan untuk mengetahui fenomena esensial partisipan dalam pengalaman hidupnya (Sugiyono, 2013: 14). Dengan metode ini, dimaksudkan bahwa peneliti menyimpan terlebih dahulu segala pengetahuan tentang objek yang diteliti, sehingga data-data yang tampak benar-benar grounded dan orisinal tanpa pengaruh dari peneliti.
2.      Sumber Data
Menurut Spradley (1980), sumber data dalam penelitian kualitatif memiliki tiga komponen, yaitu: tempat (place), pelaku (actor) dan kegiatan (activity). Dari ketiga komponen ini, sumber data dapat diperluas menjadi: 1) Space yaitu ruang dalam aspek fisik, 2) Object yaitu benda-benda yang terdapat di tempat itu, 3) Act yaitu perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu, 4) Event yaitu rangkaian aktivitas yang dilaksankan, 5) Time yaitu urutan kegiatan 6) Goal yaitu tujuan yang ingin dicapai orang-orang 7) Feeling yaitu emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh orang-orang (Sugiyono, 2013: 313). Dengan itu, penelitian akan dilakukan di sebuah kampung adat, yaitu kampung adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Dengan pelakunya adalah semua warga masayarakat kampung Cikondang dan segala aktivitasnya yang terkait dengan aspek teologis.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Maka Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2013: 316). Dengan wawancara, peneliti dapat mengetahui berbagai fenomena-fenomena yang terjadi melalui pandangan dan interpretasi narasumber. Disini narasumber yang diwawancara bukan hanya satu orang, akan tetapi banyak orang. Sehingga data-data yang didapatkan menjadi lebih valid.
Observasi adalah metode dimana peneliti terjun dan terlibat langsung dalam setiap aktivitas partisipan. Sanafiah Faisal (1990), mengklasifikasikan observasi menjadi tiga, yaitu: observasi partisipatif, observasi terus terang dan tersamar dan observasi tak terstruktur. Observasi partisipatif adalah observasi dimana peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Observasi terus terang dan tersamar adalah observasi dimana peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada narasumber, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi narasumber mengetahui dari awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Akan tetapi di satu saat, peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam melakukan observasi, hal ini untuk menghindari data yang sengaja disembunyikan—karena bersifat rahasia—jika diketahui maksud peneliti. Sementara observasi tak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati. Disini peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, melainkan hanya garis besarnya saja (Sugiyono, 2013: 310-312). Metode yang terakhir ini tidak akan dilakukan oleh peneliti, mengingat bahwa data-data sekunder tentang objek penelitian ini sudah tersedia dan terbatasnya waktu.
 Teknik yang terakhir adalah dokumentasi. Menurut Sugiyono, dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Bisa berbentuk tulisan (cerita, biografi, peraturan, kebijakan dll), gambar (foto, gambar hidup, seketsa dll) dan karya-karya (karya seni seperti gambar, patung, film dll) (Sugiyono, 2013: 326). Oleh karena itu, yang harus dipersiapkan oleh peneliti minimal adalah kamera dan rekorder.







BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Teori
Teori dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi[8].
B.     Teori
B.1. Teori Utama (Grand Theory)
Teori utama (Grand Theory) yang paling dekat dengan konsep teologi adalah teori sistem religi yang terdapat dalam teori tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat. Teori tersebut adalah sebagai berikut[9].
Pertama, emosi keagamaan (religious emotion). Yaitu getaran jiwa yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan religi.
Kedua, sistem keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang kekuatan supranatural seperti dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat dan tanda-tandanya. Konsepsi manusia tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan konsepsi manusia tentang hidup dan maut, alam  akhirat dan lain-lain.
Ketiga, sistem upacara. Sistem upacara terdiri dari: 1) tempat, 2) waktu, 3) benda-benda dan alat-alat, 4) pelaku.
Keempat, pelaku. Pelaku meliputi para pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang lain, hubungan dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan bagi warganya.
Dari teori utama ini kemudian pembahasan dikembangkan berdasarkan teori-teori lain yang mendukung. Seperti teori-teori dibawah ini.


  1. Teori tentang emosi keagamaan (religious emotion)
Emosi keagamaan (religious emotion), pada umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asali, fitrah, ataupun karunia Tuhan[10].
Prof. Dr. H. Ramayulis mengutip pendapatnya Nico Syukur Dister Ofm dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa motivasi yang menyebabkan seseorang beragama itu, pertama, agama sebagai sarana untuk mengatasi frustrasi, kedua, agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan, ketiga, agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek yang ingin tahu, keempat, agama sebagai saran untuk mengatasi ketakutan[11].
Menurut Nico syukur Dister Ofm—sebagaimana dikutif oleh Ramayulis dalam “Psikologi Agama”—bahwa manusia itu mengalami ketakutan tak berobjek[12]. Seperti takut mati, takut jatuh, takut sakit, takut tidak mendapat jodoh, takut tidak lulus ujian dan lain sebagainya.
M. Crawley—sebagaimana dikutip oleh Dadang Kahmad dalam sosiologi agama—juga mengemukakan teorinya. Jika Nico Syukur menyebut ketakutan-ketakutan itu adalah ketakutan yang tak berobjek, maka Crawley menyebut krisis dalam hidup individu yang selanjutnya disebut dengan teori “Masa Krisis dalam Hidup Individu”. Betapapun bahagianya seseorang, ia harus ingat akan timbulnya krisis dalam hidupnya. Krisis tersebut bisa berupa bencana seperti sakit dan maut. Krisis seperti ini tidak bisa dihindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda[13].
  1. Teori tentang sistem keyakinan
Ilmuwan paling terkenal yang mengemukakan teori ketuhanan paling primitif adalah Edward Burnet Tylor. Teorinya yang paling mendukung pembahasan ini adalah teori Animisme. Animisme (berasal dari bahasa Latin yaitu anima yang berarti roh) yaitu suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu[14]. Animisme adalah sistem kepercayaan yang mengganggap bahwa alam ini dikuasai oleh roh-roh dan jiwa-jiwa. Menurut Tylor—sebagaimana dikutip oleh Pals dalam “Seven Theories of Religion”:
Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang telah memiliki budaya berfikir sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis. Yang pertama adalah apakah yang membadakan antara tubuh yang hidup dan yang telah mati?, kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia?. Mencermati dua persoalan ini, para “filosof liar” (savage philosopher) mencoba menjawabnya dengan dua tahap. Pertama, dengan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai bayang-bayang dan diri kedua bagi jiwa (terpisah dari tubuh). Kedua, dengan mengkombinasikan jiwa dan roh, para “filosof liar” berhasil mendapatkan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi[15].
Dengan demikian, masyarakat primitif kata Tylor, jika roh itu terpisah dari tubuh, tidakkah benda-benda lain selain tubuh manusia dapat juga dimasuki roh?. Seperti air, pohon, batu, binatang dan sebagainya. Dari perspektif ini jelas bahwa sebagaimana roh menggerakan seorang manusia, maka spiritpun telah menggerakan alam semesta[16].
  1. Teori tentang sistem upacara
Menurut Fredriek Schleimacher, bahwa yang menjadi sumber kejiwaagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini, manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan inilah timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, oleh karena itu mereka menggantungkan harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang dapat melindungi mereka. Sehingga rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realita upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada Tuhannya[17].
Menurut Koentjaraningrat (1984: 147) sistem upacara (ritual) merupakan wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi[18]. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu: (a) tempat, (b) waktu, (c) benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang memimpin dan melakukan upacara[19].
Masih menurut Koentjaraningrat, upacara-upacara itu juga mempunyai beberapa unsure seperti (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci, (f) menyanyi nyanyian suci, (g) berprosesi atau berpawai, (h) memainkan seni drama suci, (i) berpuasa, (j) intolsikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius sampai kerasukan atau mabuk, (k) bertapa, (l) bersemedi[20].
Diantara unsur-unsur tersebut, masih menurut Koentjaraningrat ada yang dianggap sangat penting dalam satu agama, tetapi tidak dikenal di dalam agama lain, demikian juga sebaliknya. Selain itu satu ritual keagamaan dapat mengandung beberapa unsur tersebut, tetapi tidak semuanya[21].
Mengenai pengorbanan, seperti pengorbanan ayam hitam, ayam putih, dan ayam abu di dalam ritual Wuku Taun, yang kemudian di makan bersama dengan nasi tumpeng yang telah di do’akan, mempunyai aspek profanitas dan sakralitas. Di dalam The Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim mengatakan, karena makanan selalu membentuk substansi tubuh, maka makanan yang dimakan secara bersama-sama akan menimbulkan dampak yang sama dalam diri setiap orang yang memakannya. Menurut Smith, tujuan dari daging kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan Tuhannya dalam satu ikatan darah. Sehingga arti dari pengurbanan yang utama adalah aktus penguatan komuni. Sementara itu, sakralitasnya—masih menurut Durkheim—terdapat dalam seluruh rangkaian persiapan dalam upacara korban ini, yang mentransformasikan binatang yang dikorbankan menjadi makhluk yang sakral, kesakralan yang pada gilirannya akan diperoleh oleh para penganut yang memakannya[22].
Selain itu, menurut Prawirorahardjono (1986: 67) bahwa setiap ritual mempunyai ciri-ciri yang sama. Yaitu, 1) hal-hal yang dilakukan sebelum melakukan penghayatan ritual; 2) pakaian ritual; 3) tempat ritual; 4) perlengkapan ritual; 5) sikap; 6) arah penghayatan; 7) upacara do’a ritual[23]. 
Menurut Emile Durkheim ritual (pemujaan) itu ada dua macam, yakni ritual negatif dan ritual positif. Ritual negatif atau Durkheim menyebutnya “pemujaan negatif” adalah ritual-ritual yang hanya menentukan pantangan dan larangan[24]. Sedangkan pemujaan positif adalah sejumlah perbuatan yang diatur dan diorganisir oleh seperangkat praktek-praktek ritual[25].
Ritual-ritual ini, selain bersifat sakral dan transenden juga bersifat profan dan imanen.  Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya[26].
St. Hanafi Anshori juga mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu institusi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan sosial[27].
Sama halnya dengan agama yang mempunyai fungsi dalam masyarakat, menurut Prof. Dr. H. Ramayulis[28]. Pertama, berfungsi sebagai penyelamat. Kedua, berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas. Ketiga, berfungsi sebagai kontrol sosial (Social Control).
  1. Teori tentang penganut keagamaan
Menurut Koenjtaraningrat, Pelaku ini meliputi umat yang menganut keyakinan suatu agama atau keyakinan, hubungannya satu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam berlangsungnya upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga meliputi organisasi dari para umat, kewajiban serta hak-hak para warganya[29].




BAB III
KONSEP TEOLOGI MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG
A. Objek Penelitian                                           
A.1. Geografi
Kampung Cikondang, Secara administratif, menjadi bagian Desa Lamajang Kecamatan Pengalengan. Kampung Cikondang berada di perbukitan Bandung Selatan di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut. Berjarak 38 kilometer dari kota Bandung[30]. Di sebelah utara, Desa Lamajang ini berbatasan dengan Desa Cikalong, Kecamatan Cimaung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pulosari; sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamaju; dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Cikalong Kecamatan Cimaung. Desa ini memiliki luas tanah seluas 2. 516. 096 hektar, yang digunakan untuk jalan sepanjang 2,5 meter, sawah dan ladang 1. 325. 028 hektar, bangunan umum 9.000 hektar, empang 5.000 hektar, perumahan 438. 060 hektar, jalur hijau 12.000 hektar, pekuburan 5.000 hektar, dan lain-lain 516.000 hektar. Daerah ini berada di perbukitan Bandung selatan dengan ketinggian 7.000 meter di atas permukaan laut. Curah Hujan sekitar 2.000 milimeter pertahun, suhu udara rata-rata 23° C[31].
Kondisi geografis tersebut menyebabkan kampung Cikondang menjadi sangat cocok untuk daerah pertanian. Hal ini terbukti dengan sebagian besar lahan dijadikan untuk bercocok tanam. Jenis tanaman yang tumbuh di daerah tersebut diantaranya padi, bawang merah, jagung, buncis, kacang panjang, ketela pohon, ketela rambat, kedelai, dan berbagai jenis sayuran.
Di desa ini terdapat sebuah kampung adat yang dinamakan kampung Cikondang. Nama Cikondang ini—menurut Anom Djuhana[32]—berasal dari kata Aci dan Kondang. Aci artinya isi (inti) dan Kondang artinya terkenal. Kampung ini ada sejak 300 tahun yang lalu, yang didirikan oleh leluhur pertama, yaitu Uyut.
Kampung Cikondang letaknya kurang lebih setengah kilometer dari kantor Desa Lamajang[33]. Kampung Cikondang sendiri memiliki luas tanah kurang lebih 3 hektar. Di dalam kampung Cikondang ini, selain terdapat perkampungan biasa, juga terdapat wilayah Bumi Adat. Bumi Adat inilah yang menjadikan kampung Cikondang menjadi kampung Adat. Wilayah Bumi Adat ini terdiri dari: bangunan lulugu (bangunan keramat), bale-bale (bangunan yang menempel pada bangunan lulugu), leuit (bangunan tempat menyimpan padi), tampian (kamar mandi), bale paseban (semacam aula tempat bermusyawarah warga dan menerima tamu), lisung (tempat menumbuk padi), makam karuhun (kuburan keramat), hutan larangan (hutan yang dilarang sembarangan orang memasukinya), dan sawah.
Sejarah adanya Bumi Adat ini bermula dari peristiwa kebakaran yang menghanguskan semua rumah adat sunda yang ada di kampung Cikondang. Dulu di kampung yang diperkirakan berusia 300 tahun itu ada 40 rumah berbentuk rumah adat sunda. Rumah umumnya dibangun dari bambu, baik dinding maupun lantainya, kecuali tiang penyangganya menggunakan kayu dan atapnya menggunakan ijuk. Rumah-rumah itu lenyap saat terjadi kebakaran besar tahun 1942. Hanya tersisa satu rumah, yaitu rumah kepunyaan Mak Empuh [34]. Rumah inilah yang kemudian dianggap sakral dan disebut dengan Bumi Adat.
Disebut Bumi Adat juga karena jejak peninggalan leluhur hanya tersisa di satu rumah ini. Dari sana, nilai-nilai kearifan hidup peninggalan leluhur terus dirawat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat kampung Cikondang[35].
A.2. Demografi
Desa Lamajang terdiri atas limabelas rukun warga (RW), tujuhpuluhlima rukun tetangga (RT), dan duapuluhdelapan kampung. Yaitu kampung Kasepen dan Cinangka (RW 1), kampung Badra dan Cibiana (RW 2), kampung Cikondang (RW 3 dan 4), kampung Lamajang (RW 5), kampung Baru dan Cibolang (RW 6), kampung Karang Tengah dan Jamangan (RW 7), kampung Cimuncang-Cikanyere-Waspadana (RW 8), kampung Cijengkol dan Awi datar (RW 9), kampung Cikajang dan Ciluya (RW 10), kampung Cikalong Hilir (RW 12 dan 13), kampung Pataruman (RW 13), dan kampung Pasir Kihiyang-Cihonje-Ibun-Dayeuh Rantasa-Tanjakan (RW 15)[36].  
Lokasi Bumi Adat sendiri terdapat di Kampung Cikondang, di dalam wilayah RT 3, RW 3. Menurut pendataan rumah yang dilakukan oleh desa dan RW setempat[37], di RW 3 terdapat 110 Umpi dengan jumlah 389 jiwa. masing-masing adalah, laki-laki 200 jiwa, dan perempuan 189 jiwa.
Penduduk kampung Cikondang semuanya beragama Islam, karena tidak satupun dari mereka yang menganut agama lain. Dari jumlah penduduk yang mencapai 389 jiwa ini, terdapat dua buah masjid yakni masjid Alj-ihad dan masjid Al-Iman[38]. Dari kedua masjid inilah terlihat identitas Islam yang disandang oleh masyarakat kampung Cikondang. Mereka melaksanakan shalat berjama’ah, shalat jum’at, pengajian ibu-ibu, dan pengajian anak-anak.
B. Konsep Teologi
B.1. Konsep Ketuhanan
Masyarakat adat kampung Cikondang adalah masyarakat tradisional yang tatanan masyarakatnya masih bersahaja. Bersahaja dalam arti bahwa Masyarakat adat kampung Cikondang dalam kehidupannya masih terdapat kesadaran mendalam terhadap alam, yang menimbulkan rendahnya eksploitasi terhadap alam itu sendiri. Mereka berupaya menjalin hubungan baik dengan alam lingkungannya, dengan memberikan penghormatan berupa ritual-ritual. Mereka meyakini jika manusia berbuat baik kepada alam, maka alampun akan baik terhadap manusia. Ritual-ritual ini tidak jarang bersifat mistik. Mereka mempercayai adanya roh-roh yang bisa mengendalikan alam, karena nya ritual disuguhkan dalam bentuk sesajen-sesajen.
Jika melihat dari segi geografis, kampung Cikondang tidak begitu terisolir, mengingat adanya akses ke kota yang tidak begitu jauh. Yaitu kurang lebih 38 kilometer jarak ke kota Bandung[39]. Kendati begitu, masyarakat adat Cikondang masih loyal terhadap kearifan lokal, sehingga tidak tergerus kehidupan kota. Oleh karena loyalitasnya itu, mereka masih melestarikan tradisi-tradisi leluhur. Seperti meyakini adanya roh-roh halus.
B.1.1. Tuhan Yang Disembah
Masyarakat kampung Cikondang menganut agama islam. Hal ini dituturkan langsung oleh Anom Djuhana[40]leluhur Cikondang teh di abad ka-17 pikeun nyebarkeun agama islam, tapi ku simbul. Contona jandela lima, panto hiji, melangkah sama dengan ke masjid” (leluhur Cikondang, pada abad ke-17, menyebarkan agama islam melalui simbol. Contohnya jendela lima, pintu satu, melangkah sama dengan ke masjid). Dengan demikian keyakinan masyarakat kampung Cikondang adalah kepada Allah SWT. Istilah yang mereka gunakan adalah term “Allah Subhanahuta’ala”, atau sebagian orang menggunakan term “Gusti Allah”. Hal itu dibuktikan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan yang mereka lakukan. Seperti membaca syahadat, shalat, puasa, membaca ayat-ayat suci al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya. Identitas islam pun ditunjukkan dengan adanya masjid, para ibu yang menggunakan jilbab, shalat jum’at, mendidik anak untuk mengaji di masjid, pengajian ibu-ibu dan lain-lain.
selanjutnya Anom Djuhana menuturkan “teu mungkin leluhur Cikondang agama Hindu. Sabab sepuh bapak kapungkur, di tajug taun 50-an janten imam sareng maca khutbah. Lamun diidinan mah ku bapak di buktikeun lamun tiasa ngaosna. Jadi teu mungkin nyimpang tina akidah. Mung ari kapungkur mah agama Hindu jeung agama Islam teh teu pabentrok, jadi adat na teh dilestarikeun we dugi kaayeuna. Conto, pami bade ritual di rarawisan daun kawung dina lawang. Eta teh ajaran Hindu. Supados naon eta, nya supados jempe we ”. (tidak mungkin leluhur Cikondang beragama Hindu. Sebab orang tua bapak (Anom Djuhana) dahulu, di masjid sekitar tahun 50-an menjadi imam dan membaca khutbah (khotib). Kalau mau, akan bapak buktikan (teks khutbahnya) kalau bisa membacanya. Jadi tidak mungkin menyimpang dari akidah (islam). Namun pada zaman dahulu itu, agama Hindu dan agama Islam tidak pernah berselisih, sehingga adatnya dilestarikan sampai sekarang. Contoh kalau mau melaksanakan ritual, pintu dihias dengan daun aren (rarawisan), dan adat itu adalah ajaran Hindu. Hal ini dilakukan supaya tentram (tidak ada perselisihan antara Hindu dengan Islam).
Keislaman itu juga ditunjukkan dengan beberapa aturan yang berlaku di Bumi Adat. Seperti halnya memasuki masjid, untuk memasuki Bumi Adat juga harus melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu, keluar dengan kaki kiri terlebih dahulu, dan wanita yang sedang haid dilarang masuk. Selain itu, dicerminkan juga dengan sejumlah simbol yang terdapat dalam bangunan Bumi Adat, seperti lima jendela yang berarti shalat lima waktu, satu pintu yang berarti bahwa Tuhan itu satu (Tauhid) dan manusia itu berasal dari Yang Satu dan akan kembali kepada Yang Satu. Bahkan Anom Djuhana mengatakan “upami agama Kristen, sapertos urang Papua seueurna agama Kristen, di Unpar seueurna agama Kristen, agama Hindu urang Bali, dikeluarkan aja, anu masuk kesini mah harus agama Islam ” (kalau agama Kristen, seperti orang-orang Papua kebanyakan agama Kristen, di Unpar kebanyakan agama Kristen, agama Hindu (yang dianut) orang Bali, dikeluarkan saja, yang boleh masuk kesini (Bumi Adat) harus agama Islam). Kendati begitu, fanatisme tersebut hanya berlaku di Bumi Adat, dan tidak berlaku disekitarnya.
Dengan demikian, Tuhan yang masyarakat kampung Cikondang sembah adalah Allah Yang Maha Esa. Untuk menyebut Allah, mereka menggunakan term “Allah Subhanahuta’ala” atau “Gusti Allah”.
B.1.2. Keyakinan Kepada Leluhur
Selain beragama islam, masyarakat adat kampung Cikondang juga mempunyai keyakinan terhadap karuhun (leluhur). Karuhun adalah roh-roh leluhur yang telah meninggal yang diakui mempunyai banyak jasa terhadap kampung Cikondang. Karuhun ini terutama adalah keturunan para wali dari Cirebon yang menyebarkan agama islam di kampung Cikondang, seperti paparan dari Anom Djuhana berikut, “Maksadna leluhur teh hoyong ngembangkeun agama islam, ngan dina penyampaian na teh ku simbul, conto, hayam bodas kudu beresih, hayam hideung kudu hideng, hayam hawuk ulah hawek. Jandela aya lima, pato aya hiji. Sabab Jawa barat kapungkur seueurna agama Hindu, supados teu pabentrok, ieu hoyong ngamajukeun agama Islam, Hindu tetep” (maksudnya bahwa leluhur ingin mengembangkan agama Islam, hanya dalam penyampaiannya menggunakan simbol, contoh, ayam putih (maknanya) harus bersih (suci), ayam hitam (maknanya) harus dewasa, ayam abu-abu (maknanya) jangan serakah. (selain itu) Jendela (Bumi Adat) ada lima, pintu (Bumi Adat) ada satu. Sebab Jawa Barat pada zaman dahulu kebanyakan beragama Hindu (maka) agar tidak bentrok, Islam ingin memajukan Islam, Hindu juga tetap[41].
Karuhun ini konon tidak diketahui namanya sehingga orang memanggilnya Uyut Pameget dan Uyut Istri “Uyut teu gaduh jenengan (nami), uyut pameget uyut istri we di celuk dimanamana ge” (uyut ini tidak punya (tidak diketahui) nama, orang-orang dimana pun juga memanggilnya uyut pameget dan uyut istri)[42].
Makam kedua uyut inilah yang biasa diziarahi banyak orang. Orang-orang mengutarakan keinginannya di makam kedua uyut ini. Orang-orang meminta kesehatan, meminta kekayaan, meminta jodoh, meminta keamanan dan dijauhkan dari marabahaya, meminta kelancaran dalam usaha, kelancaran dalam belajar, dan tak jarang meminta kesaktian kepada uyut. Uyut ini yang dianggap menguasai dan mengendalikan kampung Cikondang, sehingga Setiap perizinan dan ritual yang dilaksankanpun selalu ditujukan kepada uyut.
Kendati demikian, orang–orang mengatakan bahwa para karuhun ini hanyalah sebagai media. Abah Ruhiyat mengatakan “upami urang ngado’a didieu teh di tujukeun nateh ka uyut. Cukang lantaran nateh ka kolot, ka sepuh, ka keramat (uyut). Batin urang kudu beresih, ulah titah ka kidul jig ka kaler. Itu (uyut) mah caket (ka Gusti Allah) mang dugikeun aya kahoyong itu, ieu” (kalau kita berdo’a disini, maka ditujukan kepada uyut. Media nya adalah keramat (uyut). Batin kita harus bersih, jangan sampai—kalau dalam istilah bahasa sunda—‘ulah titah ka kidul jig ka kaler’, uyut itu dekat dengan Allah, (perantara) untuk menyampaikan berbagai permintaan)[43]. Maksudnya adalah bahwa do’a itu ditujukan kepada uyut. Hanya saja uyut ini hanya sebagai alat untuk menyampaikan do’a kita kepada Allah SWT. Karena uyut ini merupakan orang yang mulia dan dekat kepada Allah (semasa hidupnya), sehingga permintaan kita akan cepat dikabul jika melaluinya.
Senada dengan hal itu, Bapak Ade (keluarga keturunan Kuncen) mengatakan “sanes hartosna wawartos ka leluhur kanu tos maot, eta mah tetep ka gusti Alloh  ngan cuman via” (bukan berarti memberitahu kepada leluhur yang sudah mati, hal itu tetap kepada Allah, hanya saja (leluhur adalah) via)[44].
Dari sini menjadi jelas bahwa leluhur ini hanya sebagai media untuk menyampaikan setiap permintaan kita kepada Allah. karena mereka dianggap orang yang mulia dan dekat kepada Allah. Sementara keyakinan hati tetap kepada Allah SWT.
Berdasarkan informasi dari penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, bahwa Uyut Pameget dan Uyut Istri ini yang dipercaya melindungi (ngauban) anak cucunya yakni warga masyarakat kampung Cikondang. Kedua leluhur ini yang berjasa membuka hutan sehingga menjadi pemukiman seperti sekarang ini[45].
Berdasarkan pengalaman dari Abah Ruhiyat (seorang pembantu kuncen) bahwa meminta kepada karuhun itu sangat dirasakan sekali kebenarannya. Ketika meminta rizki, misalnya kadang-kadang langsung dikabulkan. Seperti perkataannya “...eta teh ga’ib, ngan asa ngobrol weh di makam, ceuk katerangan, ceuk karamat teh bener, ceuk uyut, karaos eta teh. mun menta rizki teh, ari mulang teh sok aya nu masihan artos, rokok...” (...leluhur itu ga’ib, tapi (dengan leluhur itu) seperti ngobrol di makam, berdasarkan keterangan, keramat itu benar, (katakan saja) kata uyut, benar-benar terbukti. Kalau meminta rizki, maka sepulang ziarah kadang-kadang ada yang memberi uang, rokok...). Jadi menurut penuturan Abah Ruhiyat, bahwa keterangan dari leluhur itu benar-benar terasa manfaatnya. Saat meminta rizki pun langsung terkabul bagaimanapun caranya. Maka Abah Ruhiyat semakin percaya dengan adanya karuhun. Dan menurutnya karuhun itu adalah orang yang mulia, orang yang dekat dengan Allah, dan perkataannya pun sangat sopan santun, Contoh “...lamun urang mah aing, dewek, ari leluhur kapungkur mah nyebatnage kula...” (kalau kita menyebut aing atau dewek, kalau leluhur dulu menyebutnya dengan istilah kula)[46]. Sehingga permintaan yang disampaikan melalui mereka akan cepat dikabulkan.
Dengan demikian, masyarakat adat kampung Cikondang mempunyai keyakinan terhadap karuhun. Namun karuhun tersebut bukanlah tujuan utama. Karuhun hanyalah media untuk menyampaikan permintaan kepada Allah. Artinya setiap permintaan tetap ditujukan kepada Allah dengan melalui karuhun.
B.2. Ritual
Ritual-ritual yang dilaksanakan di kampung adat Cikondang adalah manifestasi dari keyakinan masyarakat kampung Cikondang terhadap leluhur.  Ritual-ritual tersebut diantaranya, Ziarah, Wuku Taun, Hajat Lembur, Hajat Solokan, Mitembeyan, Beluk dan lain-lain.
Wuku Taun adalah ritual yang dilaksanakan pada setiap tanggal 15 Muharram. Ritual ini di pimpin oleh juru kunci (Kuncen) yang tempatnya di Bumi Adat. Pada ritual ini semua masyarakat kampung Cikondang bergotong royong saling membantu dengan sukarela. Yang dipersiapkan biasanya tumpeng, ayam (sebagai lauknya), dan rujak suro—rujak suro ini terdiri dari pisang mas, nanas, dan parut kelapa, kemudian di masak dengan gula aren dan air.
Ada dua macam tumpeng, yaitu tumpeng lulugu dan tumpeng biasa. Tumpeng lulugu adalah tumpeng yang dimasak di Bumi Adat oleh para ibu yang sudah tidak haid (baca: menopause). Tumpeng lulugu ada tiga, pertama tumpeng beras sawah, tumpeng beras huma, dan tumpeng beras ketan. Beras-beras ini harus di tumbuk di lisung lulugu oleh sebanyak empat puluh orang ibu, dan tidak boleh di giling menggunakan diesel[47].
Lauk untuk tumpeng lulugu harus ayam yang terdiri dari tiga macam, yaitu ayam putih (hayam bodas), ayam hitam (hayam hideung), dan ayam abu-abu (hayam hawuk). Menurut penuturan Anom Djuhana (kuncen sekarang) bahwa ketiga macam ayam ini mempunyai arti tertentu. Ayam putih (hayam bodas) adalah bermakna suci, ayam hitam (hayam hideung) adalah makna bahwa kita harus hideng (baca: dewasa), dan ayam abu-abu (hayam hawuk) adalah makna bahwa kita tidak boleh hawek (baca: serakah).
Tumpeng lainnya adalah tumpeng biasa. Tumpeng ini dibuat oleh para warga yang dikumpulkan di Bumi Adat untuk di-hamin –kan bersama dengan tumpeng lulugu. Tumpeng ini jumlahnya banyak, bisa mencapai 170-200 tumpeng, tergantung jumlah warga yang membuat, yang kemudian setelah di­-hamin-kan tumpeng-tumpeng ini dibagi-bagikan kembali kepada warga disertai dengan makanan yang dibuat oleh para ibu dan diwadahi dengan susudi, kisa dan takir.
Setelah ritual (hamin) oleh kuncen, kemudian tumpeng-tumpeng tersebut di bagikan kepada orang-orang dan para tamu yang hadir di acara tersebut. Masing-masing mendapat satu cangkir rujak suro, satu piring nasi tumpeng dan satu piring sayur ayam.   
Tradisi Wuku Taun sebenarnya di laksanakan mulai dari tanggal 1 Muharram, dan acara puncaknya adalah tanggal 15 Muharram. Namun ritual ini belum berakhir, masih ada ritual Ngiring kadua dan Ngiring katilu. Ritual ini dilaksanakan jelang tiga hari dari tanggal 15 Muharram, yakni tanggal 18 dan 21 Muharram. Ngiring kadua dan ngiring katilu ini sama seperti ritual tanggal 15 Muharram—membuat tumpeng dan memotong ayam yang kemudian di haminkan oleh kuncen di Bumi Adat—akan tetapi tidak semeriah dan sebanyak tanggal 15. Jika tanggal 15 dihadiri oleh semua warga, bahkan mengundang para petugas pemerintahan setempat sampai bupati, sementara di ngiring kadua dan ngiring katilu hanya dihadiri oleh orang-orang penting dari Bumi Adat. Makanan yang di buat pun hanya tumpeng lulugu dan rujak suro saja. 
Tradisi Wuku Taun ini menurut penuturan Anom Djuhana (kuncen), adalah salah satu cara untuk mengikat tali persaudaraan diantara warga masyarakat kampung Cikondang. Karena dengan adanya ritual ini, semua warga akan datang dengan sukarela untuk bergotong royong. Disinilah masyarakat berkumpul, bertegur sapa, dan saling membantu satu sama lain. Jadi disamping mempertahankan adat leluhur, ritual ini juga bermanfaat untuk mempererat tali silaturahmi.
B.2.2. Ziarah
Ziarah adalah kegiatan berdo’a dan memohon kepada Allah melalui perantara leluhur. Kegiatan ini dilaksanakan di makam para leluhur. Ziarah ini dianggap sakral dan suci, karenanya ada aturan-aturan dan larangan-larangan tertentu dalam pelaksanaannya. Misalnya waktu. Waktu ziarah yang baik adalah malam senin dan malam kamis atau siang hari di hari apapun. Aturan lainnya yaitu harus wudhu terlebih dahulu sebelum berangkat ziarah, mendahulukan kaki kanan dalam melangkah ke makam, mengucapkan salam kepada ahli kubur, dan wanita haid dilarang berziarah.
Ziarah ini dipimpin oleh juru kunci atau kuncen. Sementara yang diziarahi adalah makam leluhur Cikondang, yaitu Uyut Pameget dan Uyut Istri, Ma Empuh (kuncen pertama), Ma  Akung (kuncen kedua), Ma Idil (kuncen ketiga), Anom Rumya (kuncen keempat), dan makam karuhun-karuhun yang lain. Dalam pelaksanaannya, ziarah ini diawali dengan membakar menyan di atas kuburan, menyemprotkan minyak wangi ke setiap batu nisannya, dan sambutan dari kuncen. Selanjutnya membaca tawasul, al-Fatihah, al-Baqarah ayat 1-5, dilanjutkan dengan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, kemudian ditutup dengan pembacaan do’a. Seperti dibawah ini.
audzubilahiminasyaitonnirojim bismilahirohmanirrahim assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Alhamdulilah alhamdulilahirobbil alamin wabihi nastain ala umuriddunya wadin wa ala alihi wasohbihi ajmain. Ashadu ala ilaha ilalloh wa ashadu ana muhammadarosululloh. Allahumma soli ala muhammad wa ala ali sayidina muhammad. Puja puji syukur urang sami-sami panjatkeun ka Allah subhanahuwata’ala oge teu hilap salam, sholawat serahkeun ka Nabi Muhammad salallohualaihiwassalam. Mugi ka kulawargana ka para sahabatna ka tabi’in-tabi’at na, tug duhi ka urang sadayana anu ngikut kana ajaran mantenna, amin. Pangersa anu dipayunan panginten leluhur Cikondang uyut anu dipihormat, oge para hadirin anu sami hadir panginten boh ti Bandung na, boh ti cikanyere, boh ti Badr sadayana anu sami-sami dipihormat. Tah ieu kawakilan ku hadirin sadaya simkuring seja ngadugikeun permaksadan, mudah-mudahan anu ku simkuring tos didugikeun permaksadanna naon rupi permaksadan na mudah-mudahan sadayana sing dipasih barokah ku Allah subhanahuwataa’la, amin. Tah simkuring nguningakeun panginten, nguningakeun ka leluhur Cikondang nyaeta Uyut, oge ka Ma Empuh, juru kunci nu kahiji, teras  nu kadua panginten Ma Akung, uyut simkuring panginten, teras ka Ma Idil, umpama ning ka anom Rumya, oge ka Ma Enen, ..... oge teu hilap bapak Ita sinareng rengrengan, sok sering diuninga’an, tah simkuring nyangakeun silaturahmi mudah-mudahan katampi, ... nguningakeun simkuring ka pertemuan panginten, kahiji ku sepuh ti Parma ajin oge sareng Agus, oge panginten marurangkalih ti UIN panginten opatan, oge panginten ti Badrakaya pun lanceuk, kang Ono, kasadayana seja silaturahmi, mudah-mudahan ku ngalangkungan silaturahmi ieu, naon rupi pamaksadan na masing-masing samulihna ti dieu mudah-mudahan we cing di kobul ku Allah subhanahuwataa’la, amin. Tah simkuring nguningakeun masih keneh ka leluhur, anu ka palih lebakna ka si Mbah Diah, ka Mbah Sulkiah, oge ka leluhur Lamajang, Sembah Dalem, Kapalun, Bojong, Cikajang, Cipaguriang, daerah atuh palih kidulna, Cinugu, Ciranganyang, Cikadu, Tamangbeusi, Langlang Buana, Cakra Buana.... nu nyalindung... sami ku simkuring dipihormat. Tah simkuring nyanggakeun silaturahmi mudah-mudahan katampi, panguningakeun simkuring ieu ...nyaeta Rukaya, anjeuna panginten ti Badra mung didamelna di Belitung, tah mudah-mudahan anjeuna... sataun sakali tiap Muharram anjeuna sok ngadeuheus ka leluhur, tah mudah-mudahan ku ngalangkungan silaturahmi ieu, Rukaya mudah-mudahan Allah subhanahuwataa’la kahiji panginten anjeuna sing disehatkeun rohani na jasmani na, dibabarikeun ngarasanan rumahtanggana....kana panghasilan nana, amin. Mung nyakitu anjeuna teh katerapan panyawat, tah simkuring teh diuningaan ieu ka leluhur pangusulkeun ka Allah subhanahuwataa’la, da panginten uyut mah tos caket ka Allah subhanahuwataa’la, mudah-mudahan we pangusulkeun ka Allah subhanahuwataa’la boh bilih ieu Rukaya boh di Badra na boh di Belitung na, anjeuna boh tina ucap, tekad, lampah, bilih ieu mah, kasiku ku laku, kasepak ku lampah, tah simkuring teh nyuhunkeun dihapunten, tah simkuring teh nyuhunkeun pangampunan mudah-mudahan, simkuring mah teu terang teu damang na, boh ceuk paripaos.....simkuring teu terang, tadina terang simkuring mah tadina damang, mudah-mudahan we ku ngalangkungan silaturahmi, ku ngalangkungan ziaroh ieu mudah-mudahan Allah subhanahuwataa’la ngadamangkeun kana panyawat ieu Rukaya. Tah eta panginten pamaksadan nana. Oge simkuring titip panginten ieu ka leluhur pangusulkeun ka Allah subahanahuwataa’la, anjeuna damel di Belitung teh, mudah-mudahan anjeuna, kahiji sing rahmat sing salamet, sing ditaekkeun boh gajihna boh.....    
walaupun demikian, keyakinan kita tetap kepada Allah, karena karuhun hanyalah perantara bagi setiap permintaan. Hal ini dikatakan oleh Bapak Ade, “sanes hartosna wawartos ka leluhur kanu tos maot, eta mah tetep ka gusti Alloh  ngan cuman via” (bukan berarti memberitahu kepada leluhur yang sudah mati, hal itu tetap kepada Allah, hanya saja (leluhur adalah) via)[48].
B.2.3. Tradisi Hajat Lembur
Tradisi Hajat Lembur adalah tradisi selamatan kampung yang dilakukan setahun sekali tiap bulan safar di tengah-tengah kampung Cikondang. Selamatan ini layaknya ritual Wuku Taun, yakni dengan membuat tumpeng dan di hamin kan oleh kuncen. Semua warga bergotong royong dalam mensukseskan acara ini.
B.2.4. Tradisi Hajat Susukan
Tradisi hajat susukan adalah Ritual yang dimaksudkan untuk menjaga aliran air dari hutan untuk mengairi sawah (irigasi) yang ada di desa Lamajang yang diadakan setiap setahun sekali. Ritualnya dilakukan di hulu sungai (hulu wetan). Seperti halnya hajat-hajat yang lain, hajat susukan pun dilakukan dengan menghamin kan tumpeng dan menyembelih hewan seperti kambing, yang kemudian dibagi-bagikan kepada warga dan semua orang yang hadir di tempat itu. Baik warga masyarakat kampung Cikondang maupun tamu berbondong-bondong ke hulu sungai untuk menghadiri acara tersebut. Selain hajat susukan, juga ada yang dinamakan dengan hajat Talang. Hajat Talang adalah ritual yang dimaksudkan untuk menjaga mata air agar tetap bisa mengalir ke rumah-rumah warga. Pelaksanaannya sama seperti hajat susukan.
            B.2.5. Tradisi Mitembeyan
Tradisi mitembeyan adalah ritual yang biasa dilakukan di sawah yang akan ditanami atau di panen. Ritual ini dipimpin oleh kuncen, dimulai dengan menyediakan rujak, membakar menyan dan di hamin kan. Kemudian menanam padi atau memanennya secara simbolis di dahului oleh kuncen dan dilanjutkan oleh yang lain. Ritual ini dua kali dilaksanakan, yaitu pada sebelum menanam (tandur), dan sebelum panen.
Makna dari ritual ini adalah bahwa sawah itu adalah milik Allah, maka jika kita ingin menggunakannya, baik mengelola atau memanen harus meminta ijin kepada pemiliknya. Jika tidak, perbuatan ini sama saja dengan mencuri. Karena itu tradisi mitembeyan ini dimaksudkan sebagai permintaan ijin kepada pemilik sawah dan segala isinya, yaitu Allah[49].
B.2.6. Tradisi Kesenian Beluk
Kesenian Beluk adalah kesenian khas kampung Cikondang yang berupa nyanyian (aosan) tanpa musik.  Menurut dokumen, Kesenian beluk ini seni vocal atau seni suara yang tidak diiringi instrument dengan nada yang tinggi dan melengking-lengking. Kata beluk berasal dari kata ba dan aluk. Ba artinya besar dan aluk artinya ‘gorowok’ atau dalam bahasa Indonesia ‘berteriak’[50].
 Menurut Abah Ruhiyat sebagai pemain beluk, nyanyian ini tidak berdasarkan aturan-aturan tangga nada Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si-Do ataupun Da-Mi-Na-Ti-La-Da. Aturannya berada dalam sambung menyambungnya lagu. Nyanyian ini terdiri dari tiga tingkatan nada, dari mulai nada yang rendah ke nada yang tinggi. Isinya adalah pepatah-pepatah (pepeling) bagi manusia. Kesenian tersebut di mainkan oleh lima sampai sepuluh orang. Yang biasa melantunkan beluk diantaranya Abah Ruhiyat sendiri, Anom Djuhana (kuncen), Bapak Kaman, Mang Dodo, Ade dll[51]. 
Kesenian ini biasanya ditampilkan dalam acara 40 hari melahirkan, marhaba, kadang-kadang juga dalam Wuku Taun, nyalametkeun bumi dll. Kesenian ini merupakan kesenian turun temurun yang senantiasa dilestarikan. Berbeda dengan kesenian lain seperti Tarawangsa. Kesenian Tarawangsa merupakan kesenian bawaan dari Cirebon dan bukan kesenian khas kampung Cikondang. Oleh karena itu yang menjadi prioritas untuk dilestarikan adalah kesenian Beluk[52].
Kesenian ini semacam pupuh seperti asmarandana, kinanti, sinom, dangdanggula dll. Namun berbeda syairnya. Sebenarnya tembang ini tidak begitu rame Abah Ruhiyat mengatakan. Namun yang diutamakan adalah maknanya. Makna dari kata-kata tembang ini adalah pepatah (papagah) untuk kehidupan manusia kedepan. Contoh syairnya adalah “lamun urang boga rizki, kudu gedena ibadah, kanu kolot, kanu anom... [53].
Di dalam ceritanya, yang menjadi tokoh utama bernama Barjah. Barjah memberikan pepatah kepada anak-anak untuk hidup kedepannya (Barjah mamagahan murangkalih pikeun hirup kapayunna). Tembang ini di bukukan dalam bentuk tulisan arab pegon (tulisan Arab berbahasa sunda) oleh orang-orang terdahulu dan dokumennya masih ada sampai sekarang. Cerita Barjah ini menurut Abah Ruhiyat kemungkinan benar-benar terjadi di zaman dulu[54].
B.3. Tempat Keramat
            B.3.1. Bumi Adat
Bumi Adat adalah wilayah 3 hektar (kurang lebih) di kampung Cikondang yang dianggap sakral. Mengenai kesakralan ini, Anom Djuhana mengatakan[55] “Anu teu kaduruk Ieu hiji, amanat sesepuh kapungkur, Omat ieu Bumi teh, mun ceuk urang Sunda mah lamun panjang teu kenging di teukteuk, pondok teu kenging di sambung, bentuk, rupa teu kenging di robah, ukuran, luhur, tinggi, lebar...” (yang tidak terbakar hanya ini satu (Bumi Adat), (oleh karena itu) amanat dari sesepuh (katanya), “ omat ieu Bumi teh (kalau dalam istilah bahasa Sunda) lamun panjang teu kenging di teukteuk, lamun pondok teu kenging di sambung”, bentuk, rupa, tidak boleh di rubah, (begitu juga) ukuran (seperti) panjang, tinggi, lebar). 
Bumi Adat mempunyai ukuran lebar 8 meter dan panjang 12 meter yang artinya 8 menyatakan bulan dan 12 menyatakan tahun. Jendela rumahnya ada 5 buah yang mengandung arti shalat 5 waktu. Dan pintunya ada satu yang mengandung arti bahwa tuhan itu ada satu, tempat kita kembali[56].
Bangunan itu berbentuk rumah panggung. Di dalamnya terdapat ruang tengah atau bale dan dua kamar. Satu kamar untuk juru kunci (kuncen). Kamar ini merupakan kamar terlarang, kata Anom Djuhana “...kamar larangan, teu aya nanaon, teu kenging di boboan, di kontrol sataun dua kali, ngontrol hungkul” (kamar larangan, tidak terdapat apa-apa, tidak boleh di gunakan sebagai tempat tidur, dikontrol dua kali dalam setahun, hanya di kontrol saja). Jadi kamar ini tidak boleh sembarangan dimasuki, yang boleh masuk hanya kuncen, dan itupun hanya 2 kali dalam setahun. Kamar satu lagi yaitu untuk menyimpan beras, yang disebut goah. Ruang Tengah atau bale yang ada di ruangan itu menyatu dengan dapur, ruang tengah biasanya digunakan juru kunci (kuncen rumah adat) untuk menerima tamu yang datang berkunjung dan sekaligus digunakan untuk acara ritual yang rutin diadakan tiap tahun, sedangkan dapur hanya digunakan untuk menanak nasi dan memasak air. Di dalam rumah adat tidak banyak terdapat perlengkapan rumah tangga, kecuali diantaranya lemari dan sejumlah peralatan makan dan minum untuk menjamu tamu. Seluruh peralatan seperti piring makan terbuat dari seng, dan untuk minum terbuat dari batok kelapa dan bambu, perabot rumah adat lainnya diantaranya seeng, aseupan, bakul, pengarih, hihid, nyiru, baki yang terbuat dari kayu dll. Karena listrik tidak boleh digunakan, penerangan di Rumah Adat cukup menggunakan cempor (lampu minyak)[57].
Bumi Adat ini terdiri dari bangunan lulugu, leuit, tampian, paseban, lisung, makam karuhun, hutan larangan dan sawah. Bangunan lulugu adalah bangunan sentral dari Bumi Adat, yang menjadi tempat berbagai ritual. Yang berhak meninggali bangunan lulugu adalah kuncen.
Leuit adalah tempat menyimpan padi yang sudah dipanen. Tampian adalah kamar mandi, sedangkan paseban, “bale paseban teh, maksadna teh sateuacanna anu kunjungan teh boh mahasiswa boh tamu timana wae, dipasihan heula petunjuk di ditu, petunjukna teh boh pantangan boh naon bae dipasihan heula petunjuk di ditu.” (bale paseban itu maksudnya adalah untuk memberikan petunjuk kepada pengunjung, baik mahasiswa maupun tamu yang lainnya sebelum memasuki Bumi Adat. petunjuknya bisa berupa pantangan-pantangan Bumi Adat atau yang lainnya). Lisung adalah tempat menumbuk padi yang akan digunakan untuk ritual. Sedangkan hutan larangan adalah wilayah hutan di belakang Bumi Adat yang tidak boleh di masuki oleh sembarangan orang, dan tidak boleh menebang pohon sembarangan.  Akan tetapi ada hal penting lain dibalik larangan itu, “ari maksadna hutan larangan teh tarbiyah keur urang, ulah saban jelema wae bebas nuar kai, nu akhirna akibatna urang kota nu keuna musibahna, nyaeta banjir” (maksud dari adanya hutan larangan itu adalah pembelajaran bagi kita, jangan sembarang orang bisa menebang pohon, yang akhirnya orang-orang kotalah yang terkena dampaknya, yaitu banjir)[58]. Pesan ini adalah pesan berharga yang terselubung dalam sebuah pantangan, dimana hal ini sulit ditemukan di dalam kesadaran manusia pada zaman sekarang.  
Batasan Bumi Adat ini adalah pagar bambu yang terdiri dari lima pagar atau Bapak Ade[59] menyebutnya lima lapis. Lapis pertama hingga lapis terakhir berurutan mulai dari utara sampai selatan. Wilayah sekitar di dalam pagar disebut oleh Bapak Ade sebagai Kandang Jaga. Seperti paparannya sebagai berikut “di pager lima jajar, disebatna ieu (Bumi Adat) kandang jaga. Jadi aya lima lapis, nu kahiji di luar itu, dua ieu, tilu eta tah, opat di pengker, lima nu ujung itu tuh. Jadi anu dibatas ku ieu mah wayahna tah barang nasional teh, anu siga model modern teh wayahna (teu kenging lebet)” (di pagari oleh lima lapis pagar. Bumi Adat ini disebutnya kandang jaga. Jadi ada lima lapis, yang pertama di luar sana, dua ini, tiga itu tuh, empat di belakang, lima yang berada di ujung sana. jadi yang dibatasi ini, tidak boleh tidak barang nasional seperti barang-barang modern tidak digunakan).
Karena sakralnya Bumi Adat ini, konon jika mengambil gambar di Bumi Adat, tidak akan muncul gambar apapun (blank) dan tidak terdapat jaringan telepon, hanya saja setelah banyak yang meneliti, sementara penelitian membutuhkan bukti berupa foto, maka kuncen meminta izin kepada leluhur melalui ziarah, agar Bumi Adat bisa di dokumentasikan. Sehingga sampai sekarang Bumi Adat muncul di kamera dan terdapat pula jaringan handphone.
Selain itu, kesakralannya juga di utarakan oleh Anom Djuhana[60]aneh bapa mah, ari imah kieu seueur nu nararoskeun, ari bumi bapa anu tembok teuaya nu nararoskeun. Tah kaanehan bumi adat teh didinya ”. (bapak merasa aneh, kenapa rumah seperti ini (Bumi Adat) banyak yang menanyakan, sedangkan rumah bapak yang sudah ditembok tidak ada yang menanyakan. Disinilah keanehan dari Bumi Adat). Anom Djuhana menganggap ketertarikan wisatawan dan peneliti terhadap Bumi Adat kampung Cikondang adalah sebuah keanehan. Dimana Bumi Adat yang hanya merupakan sebuah bangunan sederhana akan tetapi dapat mendatangkan banyak wisatawan dan banyak peneliti. Terlepas dari maksud para wisatawan dan para peneliti tersebut, Keanehan itu bisa saja dikaitkan oleh Anom dengan hal-hal yang transenden. Sehingga nampaklah nilai-nilai mistik dari Bumi Adat tersebut. 
Selanjutnya Anom Djuhana mengatakan[61]ku ayana bumi adat teh alhamdulilah silaturahmina, urang teh jadi seueur dulur” (dengan adanya Bumi Adat, bisa mempererat silaturahmi, sehingga kita jadi banyak saudara). Hal inilah yang menjadi titik penting dari Bumi Adat kampung Cikondang. Bumi Adat, senantiasa menjaga hubungan sesama manusia dengan sangat baik, dimana hal ini sudah tidak terjadi di masyarakat kota (baca: individualis). Hubungan baik ini terjadi berkat kesadaran dari masing-masing masyarakatnya sendiri. Dengan adanya tradisi-tradisi yang dilakasanakan, maka masyarakat berpartisipasi dengan sukarela dan bergotong royong. Sebagaimana disimbolkan oleh hayam hideung (ayam hitam) yang maknanya adalah hideng (dewasa). Dalam artian bahwa untuk bergotong royong dan saling membantu, masyarakat tidak harus di ajak atau disuruh untuk berpartisipasi, mereka datang dengan sendirinya.
Beberapa pantangan atau tabu di Bumi Adat :
1.      Tidak boleh memasuki Bumi Adat dan jiarah di hari selasa, jum’at dan sabtu;
2.       perempuan yang sedang haid tidak boleh memasuki bangunan lulugu, tidak boleh jiarah, dan tidak boleh memasuki hutan larangan;
3.      Orang-orang non-muslim tidak boleh memasuki bangunan lulugu, tidak boleh jiarah dan tidak boleh memasuki hutan larangan;
4.      Di wilayah Bumi Adat tidak boleh menggunakan barang pecah belah, listrik dan barang-barang elektronik;
5.      Di wilayah Bumi Adat tidak boleh membuat gaduh, dan harus berbicara sopan;
6.      Untuk memasuki bangunan lulugu harus mendahulukan kaki kanan, dan apabila mau keluar harus mendahulukan kaki kiri.
7.       Tidak boleh menginjak dan menduduki Bangbarung (bagian alas pintu);
8.      Petugas memasak di bangunan lulugu untuk keperluan ritual harus perempuan yang sudah tidak haid (menopause);
9.      Tidak boleh melangkahi makanan dan barang-barang untuk ritual;
10.  Tidak boleh menginjak parako (bagian luar perapian atau hawu);
11.  Tidak boleh selonjor ke arah utara dan timur;
12.  Tidak boleh buang air baik kecil maupun besar menghadap selatan;
13.  Makanan yang dimasak untuk keperluan ritual tidak boleh dicicipi terlebih dahulu, makanan yang jatuh tidak boleh diambil lagi, selama memasak, yang memasak harus puasa (artinya tidak boleh makan atau minum apapun selama memasak, kecuali telah selesai);
14.  Hewan yang disembelih untuk ritual Wuku Taun harus ayam kampung yang berwarna putih, hitam dan abu-abu;
15.  Memasuki hutan larangan tidak boleh menggunakan alas kaki;
16.  Ada satu kamar yang di dalam bangunan lulugu yang tidak boleh dimasuki, kecuali oleh kuncen, dan kuncen pun hanya satu kali dalam setahun;
17.  Dan lain-lain.
Pantangan-pantangan diatas tidak boleh dilanggar. Orang-orang yang melanggar akan merasakan akibatnya sendiri. Seperti dicontohkan oleh Anom Djuhana  tos aya kajantenan-kajantenan kapungkur, waktos bapak umur tilu taun, dinten saptu kajadianna. Juru kunci jaroh ka makom, mun ceuk urang Sunda mah katindih ku kari-kari, katinggang ku darigama, geubis dugi socana kaluar kacungkal ku tutunggul digunting langsung. Eta poe saptu. Ayeuna salasa nuar kai teu runtuh najan sapat oge. Ayeuna juma’ah, ieu mah anu kaalaman ku bapak. Bapak teh nuju nerapkeun talahab, suhunan potong, bapak teh geubis kawas nu ka aclengkeun tebih”. (sudah terdapat kejadian-kejadian pada jaman dahulu, waktu bapak (Anom Djuhana) berusia tiga tahun. Kejadian tersebut terjadi pada hari sabtu. Juru kunci ziarah ke makam, kalau istilah bahasa Sunda adalah katindih ku kari-kari, katinggang ku darigama, juru kunci itu jatuh hingga matanya tercungkal keluar dan digunting langsung. Kejadian ini terjadi pada hari sabtu. Kejadian lain adalah hari selasa. Di hari selasa ini menebang pohon tetapi tidak tumbang walaupun sudah patah. Selain itu, di hari jum’at. Kejadian ini dialami oleh bapak (Anom Djuhana) sendiri. Ketika bapak sedang membetulkan atap, tiba-tiba atapnya roboh, kemudian bapak jatuh terlempar jauh).
Dengan adanya kejadian-kejadian—yang disangkut pautkan dengan pantangan—ini, semakin seganlah masyarakat kampung Cikondang untuk melanggar pantangan-pantangan tersebut. Namun perasaan segan itu sekarang sudah mulai pudar. Bukan pudar karena berkurangnya kesakralan itu sendiri, melainkan pudar dikalangan orang-orang baru, mengingat orang-orang dahulu sudah mulai berkurang. Orang baru tersebut bisa orang-orang muda, bisa juga para pendatang yang tidak mengalami hal-hal semacam itu.
Disamping kesakralan tersebut, Di dalam ajaran Bumi Adat juga sebenarnya tersimpan nilai sosial yang bagus. Misalnya dipaparkan oleh Anom Djihana, “Rumah adat teh tuntunan, kahiji tuntunan kanggo murangkalih, oge tuntunan keur didieu”(Rumah Adat itu menjadi sebuah tuntunan, pertama tuntunan untuk anak-anak, dan tuntunan untuk disini (kampung Cikondang)). Yang dimaksud dengan tuntunan itu adalah bahwa di Bumi Adat diberlakukan segala nilai-nilai etik dan nilai-nilai moral, dan seluruh kearifan hidup yang diturunkan leluhur kampung Cikondang.
Nilai-nilai yang utama adalah tentang sopan santun. Nilai ini antara lain di implementasikan dengan larangan berbicara keras, buang air sembarangan, hormat dan patuh kepada orang tua dan sesama. Selain itu, warga sangat menjungjung tinggi gotong royong. Hal ini dapat dilihat saat Bumi Adat menerima tamu atau melaksanakan ritual seperti acara ritual tutup tahun mapag tahun atau menyambut 15 Muharam (Wuku Taun). “warga tanpa diundang sukarela membantu untuk menyambut 15 Muharam nanti. Para ibu memasak nasi kuning dan tumpeng untuk dibagikan ke warga. Alhamdulilah sampai sekarang ritual tersebut masih rutin dilakukan, belum pernah berhenti, kata Anom Djuhana. Maksud di adakan ritual tersebut adalah tasyakur binikmat kepada Allah swt. Yang telah memberikan kesehatan dan yang lain-lain[62].  
            B.3.2. Makam Karuhun
Makam karuhun adalah salah satu tempat keramat di kampung Cikondang. Makam ini adalah tempat berziarah, karena di dalamnya terdapat beberapa makam leluhur. Makam leluhur tersebut diantaranya makam Uyut Pameget dan Uyut Istri, Ma Empuh, Ma Akung, Ma Idil, Anom Rumya dan Ma Emen. Mereka adalah leluhur kampung Cikondang yang dianggap mempunyai banyak jasa terhadap kampung Cikondang. Sehingga mereka di puji dan dihormati dengan cara diziarahi.
Makam karuhun berada di dalam hutan larangan, sebelah timur Bumi Adat. Orang-orang yang akan berziarah biasanya berjalan dari Bumi Adat bersama dengan kuncen Bumi Adat. Di makam karuhun harus berlaku sopan santun dan tidak boleh bersuara keras. Selama berziarah biasanya hanya kuncen yang berbicara, karena kuncen yang memimpin ziarah. Di makam karuhun ini juga terdapat pantangan-pantangan sebagaimana pantangan-pantangan memasuki hutan larangan dan pantangan ziarah (sudah dijelaskan diatas).

            B.3.3 Hutan Larangan
Hutan larangan adalah sebuah hutan yang dianggap sakral oleh masyarakat kampung Cikondang, yang letaknya berada di belakang Bumi Adat (palih wetaneun Bumi Adat), “upami bade ka hutan larangan kedah ka tonggoh jalan na, teu tiasa sakonyong-konyong” (kalau mau ke hutan larangan harus melalui jalan atas, tidak bisa sembarangan) begitu kata Bapak Ade mengatakan.
Hutan larangan tersebut tidak boleh sembarangan orang masuk, kecuali harus ada izin dari juru kunci, itu juga ada hari-hari tertentu yang diperbolehkan masuk ke wilayah hutan larangan yaitu Hari Senin, Rabu, Kamis, dan Minggu. Aturan lain bila masuk ke dalam hutan larangan yaitu sandal atau sepatu harus dibuka, untuk perempuan sedang tidak datang bulan, dan harus beragama Islam. Menurut sejarah dan kata orang-orang terdahulu (sesepuh kapungkur), Hutan Larangan tersebut tempat berkumpul dan tempat musyawaroh para wali, juga tempat bersembunyi masyarakat dijaman penjajahan Belanda[63].
Di dalam hutan Larangan terdapat makam yang dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari bambu yang pakunya terbuat dari tali bambu. Makam tersebut adalah makam leluhur para juru kunci terdahulu, diantaranya makam Mak Empuh, Mak Akung, Mak Idil, dan Anom Rumya[64].
Beberapa pantangan mengenai hutan larangan ini. Diantaranya:
1.      Tidak sembarang orang yang boleh memasuki hutan larangan;
2.      Harus bersuci terlebih dahulu, baik wanita maupun laki-laki;
3.      Wanita haid tidak boleh memasukinya;
4.      Hanya yang beragama islam yang boleh memasukinya;
5.      Tidak boleh menggunakan alas kaki;
6.      Ada hari-hari tertentu yang boleh dan tidak boleh memasuki hutan larangan;
7.      Jika yang memasuki hutan tersebut lebih dari satu orang, maka jangan berpisah agar tidak tersesat;
8.      Isi hutan larangan hanya boleh diambil untuk kepentingan di Bumi Adat;
9.      Hutan larangan tidak boleh di foto.
Walaupun demikian, terdapat pesan mendalam di dalam pantangan-pantangan tersebut. Pesan itu yakni, betapa pentingnya manusia dalam melestarikan alam. Sebuah hutan dekat pemukiman, jika dibiarkan begitu saja maka akan rusak oleh ulah-ulah manusia yang kadang tidak bertanggungjawab. Kerusakan tersebut yang kemudian akan menjadi musibah bagi manusia itu sendiri. Maka untuk menghindari hal itu, pantangan-pantangan mistik diatas dapat berguna bagi kehidupan masyarakat kampung Cikondang. Hal ini diutarakan oleh Bapak Ade “Ari hutan larangan teh semacam percontohan, tarbiyah keur urang, ulah saban jelema wae bebas nuar kai, nu akhirna akibatna urang kota, nu namina gunung gundul kan musibahna (banjir) ka urang kota. Janten ku ayana hutan perlindungan teh ulah bebas manusia menebang kayu secara tidak tanggungjawab” (Hutan larangan itu adalah semacam contoh, tarbiyah bagi kita, bahwa jangan sembarang orang bisa menebang pohon, yang pada akhirnya yang kena akibatnya adalah orang-orang kota (kebanjiran). Jadi dengan adanya hutan yang dilindungi itu agar tidak sembarang orang menebang pohon secara tidak tanggungjawab)[65].












BAB IV
ANALISIS DATA
Teologi—dalam kamus digital—adalah pengetahuan tentang ketuhanan, yakni mengenai sifat allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci.
Teologi ini—dalam pemahaman Koenjtaraningrat—termasuk kepada sistem religi. Sehingga term teologi tidak bisa disamakan begitu saja dengan term religi, walalupun keduanya sama-sama membahas tentang ketuhanan. Perbedaannya yaitu, teologi lebih spesifik daripada religi. Jika religi selalu berkaitan dengan agama yang dianut, maka teologi ada didalamnya, yakni membahas tentang keyakinan terhadap Tuhan. Menurut Koentjaraningrat, sistem religi terdiri atas empat unsur[66]:
Pertama, emosi keagamaan (religious emotion). Yaitu getaran jiwa yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan religi.
Kedua, sistem keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang kekuatan supranatural seperti dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat dan tanda-tandanya. Konsepsi manusia tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan konsepsi manusia tentang hidup dan maut, alam  akhirat dan lain-lain.
Ketiga, sistem upacara. Sistem upacara terdiri dari: 1) tempat, 2) waktu, 3) benda-benda dan alat-alat, 4) pelaku.
Keempat, pelaku. Pelaku meliputi para pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang lain, hubungan dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan bagi warganya.
Keempat unsur ini berlaku di masyarakat manapun. Termasuk di mayarakat adat kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung.
Perlu ditekankan sebelumnya bahwa keagamaan dan keyakinan di masyarakat adat kampung Cikondang itu berbeda. Jika Islam menjadi agama yang resmi di kampung Cikondang, keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang adalah terhadap leluhur (karuhun). Agama Islam di kampung Cikondang adalah agama yang turun temurun dari leluhur (karuhun) tersebut, sehingga gagasan dan praktek murni yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits (pedoman umat Islam) tidak sepenuhnya murni, tetapi bercampur dengan ritual-ritual mistik. Kendati begitu, siapapun tidak bisa memutuskan (judge) bahwa hal ini sesat atau tidak sesuai dengan agama Islam. Hal ini merupakan fenomena nyata yang terjadi. Siapapun harus menyadari bahwa setiap masyarakat itu unik.
Berdasarkan hal ini, teori-teori yang ada belum tentu sesuai dengan setiap fenomena. Seperti halnya teori-teori yang kita temukan. Teori diatas dan teori-teori yang kelak kita kemukakan dibawah berlaku bagi keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang, akan tetapi tidak berlaku bagi keagamaannya, karena agama masyarakat kampung Cikondang merupakan agama—sebut saja—modern, dan bukan agama primitif. Dan karena itu, peneliti hanya menggunakan teori-teori tersebut untuk menganalisis keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang—yaitu kepada leluhur—dan bukan untuk sistem keagamaannya.
  1. Emosi keagamaan (religious emotional)
Emosi keagamaan (religious emotion), pada umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional, unsur asali, fitrah, ataupun karunia Tuhan[67]. Tampaknya keyakinan masyarakat kampung adat Cikondang terhadap leluhur di dorong oleh unsur psikologis rohaniah, yaitu keyakinan akan adanya roh-roh yang menguasai alam sekitar yang menyebabkan ketakutan. Dengan menguasai alam sekitar, maka roh-roh itu bisa saja sewaktu-waktu mendatangkan bencana.
Prof. Dr. H. Ramayulis mengutip pendapatnya Nico Syukur Dister Ofm dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa motivasi yang menyebabkan seseorang beragama itu, pertama, agama sebagai sarana untuk mengatasi frustrasi, kedua, agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan, ketiga, agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek yang ingin tahu, keempat, agama sebagai saran untuk mengatasi ketakutan[68]. Barangkali point keempat inilah yang menjadi dasar dari pemujaan terhadap roh-roh leluhur di masyarakat adat kampung Cikondang.
Menurut Nico syukur Dister Ofm—sebagaimana dikutif oleh Ramayulis dalam “Psikologi Agama”—bahwa manusia itu mengalami ketakutan tak berobjek[69]. Misalnya takut mati, takut jatuh, takut celaka, takut sakit, takut tidak mendapatkan jodoh, takut tidak lulus ujian, dan sebagainya. Ketakutan-ketakutan ini merupakan ketakutan-ketakutan tak berobjek. Bagaimana manusia akan menghindari ketakutan-ketakutan tersebut, sedang objeknya tidak ada. Maka satu-satunya cara untuk menghindarinya yaitu berlindung kepada sesuatu yang berkuasa, yang menguasai alam dan yang menguasai ketakutan-ketakutan itu. Dalam hal ini, orang-orang beragama berlindung kepada Tuhan—sebut saja orang Muslim berlindung kepada Allah dengan berdo’a dan sebagainya. Sedangkan orang-orang warga masyarakat kampung Cikondang berlindung kepada roh-roh para leluhur (karuhun)—walaupun pada akhirnya, roh-roh leluhur ini hanyalah sebagai media untuk berlindung kepada Allah—dari ketakutan-ketakutan tersebut. Memohon perlindungan ini dilakukan dengan cara ritual-ritual atau upacara-upacara atau berdo’a di makam.
Senada dengan teori tersebut, M. Crawley—sebagaimana dikutip oleh Dadang Kahmad dalam sosiologi agama—juga mengemukakan teorinya. Jika Nico Syukur menyebut ketakutan-ketakutan itu adalah ketakutan yang tak berobjek, maka Crawley menyebut krisis dalam hidup individu yang selanjutnya disebut dengan teori “Masa Krisis dalam Hidup Individu”. Betapapun bahagianya seseorang, ia harus ingat akan timbulnya krisis dalam hidupnya. Krisis tersebut bisa berupa bencana seperti sakit dan maut. Krisis seperti ini tidak bisa dihindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda[70]. Oleh karena itu solusi untuk mengatasi ketakutan-ketakutan semacam itu adalah berdamai dan menjalin hubungan baik dengan roh-roh penguasa alam sekitar, dengan melakukan pemujaan-pemujaan.
  1. Sistem Keyakinan    
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa sistem keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang adalah kepada leluhur. Masyarakat adat kampung Cikondang meyakini bahwa roh-roh leluhur masih ada dan dapat dimintai pertolongan. Menurut keyakinan mereka bahwa roh-roh leluhur itu menguasai alam, seperti menguasai Bumi Adat, hutan larangan, makam, sawah, sungai, lembur (kampung) dan lain sebagainya. Sehingga jika mereka ingin alam lingkungan tempat tinggalnya tetap aman, dan jauh dari marabahaya, maka mereka harus memohon kepada roh-roh leluhur. Permohonan ini bisa berbentuk ziarah atau ritual-ritual seperti Wuku Taun, hajat lembur, hajat solokan, mitembeyan, dan sebagainya. Keyakinan semacam ini di dalam teori aliran ketuhanan disebut dengan animisme. Teori ini dikemukakan oleh E.B Tylor sebagai berikut.
Animisme (berasal dari bahasa Latin yaitu anima yang berarti roh) yaitu suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu[71]. Animisme adalah sistem kepercayaan yang mengganggap bahwa alam ini dikuasai oleh roh-roh dan jiwa-jiwa. Menurut Tylor—sebagaimana dikutip oleh Pals dalam “Seven Theories of Religion”:
Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang telah memiliki budaya berfikir sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis. Yang pertama adalah apakah yang membadakan antara tubuh yang hidup dan yang telah mati?, kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia?. Mencermati dua persoalan ini, para “filosof liar” (savage philosopher) mencoba menjawabnya dengan dua tahap. Pertama, dengan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai bayang-bayang dan diri kedua bagi jiwa (terpisah dari tubuh). Kedua, dengan mengkombinasikan jiwa dan roh, para “filosof liar” berhasil mendapatkan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi[72].
Dengan demikian, masyarakat primitif kata Tylor, jika roh itu terpisah dari tubuh, tidakkah benda-benda lain selain tubuh manusia dapat juga dimasuki roh?. Seperti air, pohon, batu, binatang dan sebagainya. Dari perspektif ini jelas bahwa sebagaimana roh menggerakan seorang manusia, maka spiritpun telah menggerakan alam semesta[73].
Teori animistik ini bisa dilihat juga di dalam agama-agama yang lebih modern. Seperti reinkarnasi dalam kebudayaan Timur, atau keyakinan akan hari pembalasan dan keabadian jiwa di dalam kebudayaan Barat seperti Kristen dan Islam. Hal ini dapat dipahami bahwa roh atau jiwa itu dapat terpisah dari tubuh (materi). Animistik juga dapat dilihat dalam benda-benda yang dianggap jimat, hal ini bukanlah pemujaan terhadap benda-benda, melainkan anima yang ada didalamnya. Atau yang masih berkembang di masyarakat tradisional saat ini seperti pengusiran roh-roh jahat dari orang yang sakit. Mereka meyakini bahwa orang yang sakit tidak memerlukan pengobatan, melainkan di jampe dan di keluarkan roh-roh yang mengganggunya.
Keyakinan ini jugalah yang dianut oleh masyarakat adat kampung Cikondang. Bahwa roh-roh itu tetap hidup meskipun orangnya sudah meninggal. Sehingga roh-roh itu menguasai Bumi Adat, Hutan larangan, sungai, mata air, lembur (perkampungan), dan sekitarnya, dan bisa saja sewaktu-waktu mendatangkan bencana. Untuk menghindari itu, mereka melakukan permohonan berupa ritual. Seperti yang sudah kami transkrip diatas pembicaraan-pembicaraan kepada roh-roh leluhur pada waktu ziarah. Mereka berbicara dimakam layaknya berbicara kepada manusia, karena roh-roh itu mendengarkan setiap keluhan atau permintaan mereka.
Jika menurut Tylor, animisme ini kemudian menyebabkan timbulnya agama primitif, berbeda dengan agama yang dianut oleh warga masyarakat adat kampung Cikondang. Agama yang dianut oleh mereka adalah agama Islam. Agama Islam bukanlah agama primitif, melainkan agama wahyu yang dibawa oleh seorang utusan Allah—Nabi Muhammad saw beserta kitab sucinya. Agama Islam muncul jauh setelah agama primitif ada. Artinya agama Islam sudah lebih modern daripada agama primitif. Jadi masyarakat adat Cikondang beragama Islam sekaligus animisme.
Kendati demikian, animisme yang diyakini masyarakat adat kampung Cikondang ini ada hubungannya dengan agama Islam itu sendiri. Roh-roh para leluhur ini hanyalah media untuk menyampaikan setiap permintaan kepada Allah. Pada hakikatnya yang dimintai pertolongan adalah Allah. Namun konon, orang-orang hebat seperti wali Allah, atau orang-orang berjasa lainnya sangat dihormati walaupun sudah meninggal. Karena jasa-jasa dan pengaruhnya tetap hidup. Oleh karena itu makam-makam leluhur yang berjasa itu biasa diziarahi. Dalam prosesi ziarah inilah kemudian roh-roh para leluhur tersebut dianggap ada, mendengarkan setiap keluhan dan permintaan. Di kampung adat Cikondang sendiri, roh-roh para leluhur ini dianggap menguasai alam sekitar. Sehingga setiap kegiatan, kebutuhan atau keinginan masyarakat harus mendapat izin dari roh-roh para leluhur. Sistem perizinan ini dilaksanakan dengan cara ritual-ritual seperti yang sudah disebutkan diatas, yaitu Wuku Taun, hajat lembur, hajat solokan, mitembeyan, dan sebagainya.
Hal inilah yang kemudian disebut dengan istilah sinkretisme. Sinkretisme—dalam kamus digital—adalah paham baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dalam hal ini perpaduan dari agama Islam dan keyakinan kepada roh-roh leluhur.

  1. Sistem Upacara
Berdasarkan keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang seperti sudah dijelaskan diatas, maka eksistensi roh-roh para leluhur ini dirasakan efek, manfaat, atau pengaruhnya, ketika batin sudah benar-benar meyakininya. Sehingga dengan segala rasa pengabdian, segala perbuatan dan ritual keagamaan atau ritual mistik lainnya pun dilakukan dengan khidmat. Teori yang mendukung hal ini adalah teori Fredriek Schleimacher.
Menurut Fredriek Schleimacher, bahwa yang menjadi sumber kejiwaagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini, manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan inilah timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, oleh karena itu mereka menggantungkan harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang dapat melindungi mereka. Sehingga rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realita upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada Tuhannya[74].
Menurut Koentjaraningrat (1984: 147) sistem upacara (ritual) merupakan wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi[75]. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu: (a) tempat, (b) waktu, (c) benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang memimpin dan melakukan upacara[76].
Aspek pertama yakni tempat, ritual di kampung adat Cikondang biasanya dilakukan di Bumi Adat untuk ritual Wuku Taun, dan ritual lainnya; di hulu sungai untuk ritual Hajat Solokan dan Hajat air bersih; di tengah kampung untuk ritual Hajat Lembur; di sawah yang akan ditanami dan dipanen untuk ritual Mitembeyan; di makam keramat untuk ritual ziarah. Aspek kedua yakni waktu, kebanyakan dari ritual di kampung adat Cikondang dilakukan satu kali dalam setahun. Seperti Wuku Taun dilaksanakan pada setiap tanggal 15 Muharram; Hajat solokan dilaksanakan setiap…; Hajat Lembur dilaksanakan setiap tanggal…; Mitembeyan dilaksanakan tergantung jadwal menanam dan memanen; sedangkan ziarah dilaksanakan pada setiap malam senin dan malam kamis, atau siang hari di hari apapun. Sedangkan benda-benda dan alat-alat upacara adalah tumpeng, korban ayam, korban kambing, menyan, rujak suro, dan lain-lain. Orang yang memimpin ritual adalah kuncen, dan yang mengikuti ritual adalah semua warga masyarakat kampung Cikondang, para tamu, baik yang sengaja di undang maupun tidak.
Masih menurut Koentjaraningrat, upacara-upacara itu juga mempunyai beberapa unsure seperti (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci, (f) menyanyi nyanyian suci, (g) berprosesi atau berpawai, (h) memainkan seni drama suci, (i) berpuasa, (j) intolsikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius sampai kerasukan atau mabuk, (k) bertapa, (l) bersemedi[77].
Diantara unsur-unsur tersebut, masih menurut Koentjaraningrat ada yang dianggap sangat penting dalam satu agama, tetapi tidak dikenal di dalam agama lain, demikian juga sebaliknya. Selain itu satu ritual keagamaan dapat mengandung beberapa unsur tersebut, tetapi tidak semuanya[78]. Dengan berdasarkan teori ini, ritual khas di masyarakat adat kampung Cikondang misalnya Wuku Taun dapat dianalisis sebagai berikut.
Dalam upacara Wuku Taun mula-mula sejumlah warga masyarakat membuat sesaji, yaitu membuat nasi tumpeng yang dinamakan tumpeng lulugu dan dengan mengorbankan sejumlah ekor ayam yang terdiri dari ayam hitam, ayam putih, dan ayam abu (hal ini mengandung arti, telah dijelaskan diatas), rujak suro dan menyiapkan menyan. Dalam proses pembuatan sesaji ini, para pembuatnya yang disebut dengan ibu-ibu lulugu harus berpuasa. Berpuasa disini berarti tidak mencicipi makanan yang sedang dibuat sampai selesai. Jika selesai membuat makanannya, selesai juga berpuasanya. Ini hanya berlaku bagi para lulugu selama membuat makanan saja. Kemudian sesaji tersebut di doakan (hamin) oleh kuncen dan para laki-laki dengan cara duduk melingkari sesaji-sesaji tersebut. Setelah selesai didoakan, kemudian makanan yang telah disucikan dengan do’a yakni tumpeng dan ayam itu di bagikan kepada semua (warga dan tamu) yang hadir pada waktu upacara dan dimakan bersama ditempat, yang lainnya dibagikan juga kepada warga kampung Cikondang yang tidak hadir. Setelah upacara selesai, kadang-kadang ada kesenian khas kampung Cikondang yang ditampilkan, yaitu kesenian Beluk . Tetapi kesenian ini tidak termasuk kepada ritual, ini hanya hiburan saja bagi warga dan tamu.
Mengenai pengorbanan, seperti pengorbanan ayam hitam, ayam putih, dan ayam abu di dalam ritual Wuku Taun, yang kemudian di makan bersama dengan nasi tumpeng yang telah di do’akan, mempunyai aspek profanitas dan sakralitas. Di dalam The Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim mengatakan, karena makanan selalu membentuk substansi tubuh, maka makanan yang dimakan secara bersama-sama akan menimbulkan dampak yang sama dalam diri setiap orang yang memakannya. Menurut Smith, tujuan dari daging kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan Tuhannya dalam satu ikatan darah. Sehingga arti dari pengurbanan yang utama adalah aktus penguatan komuni. Sementara itu, sakralitasnya—masih menurut Durkheim—terdapat dalam seluruh rangkaian persiapan dalam upacara korban ini, yang mentransformasikan binatang yang dikorbankan menjadi makhluk yang sakral, kesakralan yang pada gilirannya akan diperoleh oleh para penganut yang memakannya[79].
Selain itu, menurut Prawirorahardjono (1986: 67) bahwa setiap ritual mempunyai ciri-ciri yang sama. Yaitu, 1) hal-hal yang dilakukan sebelum melakukan penghayatan ritual; 2) pakaian ritual; 3) tempat ritual; 4) perlengkapan ritual; 5) sikap; 6) arah penghayatan; 7) upacara do’a ritual[80].  
Dengan teori tersebut, ritual khas masyarakat adat kampung Cikondang—yakni Wuku Taun— juga dapat dianalisis sebagai berikut.
1)      Hal-hal yang dilakukan sebelum ritual: bersuci.
2)      Pakaian ritual: baju putih, celana hitam, dan ikat kepala (bendo) untuk kuncen dan orang-orang tertentu, untuk tamu bebas.
3)      Tempat ritual: Bumi Adat
4)      Perlengkapan ritual: tumpeng dkk, rujak suro, kemenyan.
5)      Sikap: duduk bersila, menunduk, tidak boleh mengobrol, mengikuti bacaan-bacaan yang dipimpin oleh kuncen, tangan menengadah saat berdo’a, membaca ayat-ayat alqur’an.
6)      Arah penghayatan: bersyukur kepada Allah swt dan kepada leluhur bahwa telah diberikan keselamatan dan keberhasilan selama satu tahun, dan memohon agar diberikan keselamatan dan keberhasilan juga setahun kedepan.
7)      Do’a ritual: ayat-ayat al-qur’an seperti al-fatihah, al-ikhlas, al-falaq, an-nas dll, do’a, dan lain-lain.
Menurut Emile Durkheim ritual (pemujaan) itu ada dua macam, yakni ritual negatif dan ritual positif. Ritual negatif atau Durkheim menyebutnya “pemujaan negatif” adalah ritual-ritual yang hanya menentukan pantangan dan larangan[81]. Bentuk ritual ini tidak menetapkan perbuatan-perbuatan yang harus dilaksanakan, melainkan sejumlah larangan atau tabu yang tidak boleh dilakukan. Durkheim mengatakan bahwa pemujaan negatif ini baru membuka pintu gerbang kearah kehidupan religius. Karena pemujaan ini memerintahkan manusia untuk menjauhi dunia profan, itu bertujuan agar lebih dekat dengan dunia sakral. Sedangkan pemujaan positif adalah sejumlah perbuatan yang diatur dan diorganisir oleh seperangkat praktek-praktek ritual[82]. Artinya pemujaan positif ini mengandaikan sejumlah aturan yang harus dipraktekkan.
Jika dianalisis berdasarkan teori ini, maka pantangan-pantangan yang terdapat di kampung Cikondang seperti pantangan di Bumi Adat, pantangan di hutan larangan, pantangan ziarah dan lain sebagainya merupakan sebuah ritual, yang dinamakan—oleh Durkheim—“pemujaan negatif”. Sementara ritual-ritual yang harus dipraktekkan dan mengandaikan sejumlah aturan-aturan yang harus ditaati, seperti Wuku Taun, Hajat Solokan, Hajat Lembur, Hajat Talang, Mitembeyan, dan lain sebagainya disebut dengan “pemujaan positif”.
Ritual-ritual ini, selain bersifat sakral dan transenden juga bersifat profan dan imanen.  Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya[83]. Nilai-nilai yang terkandung di Bumi Adat dalam hal ini merupakan landasan bagi nilai-nilai sosial di masyarakat kampung Cikondang, dimana nilai-nilai itu penting sekali untuk mempertahankan masyarakat itu sendiri di generasi yang akan datang. Dengan mempedomani sistem nilai, maka kesusilaan akan terjaga.
Jika menurut Nottingham—berkaitan dengan pendidikan agama Islam—nilai-nilai itu diajarkan melalui sistem pendidikan yang dinamakan transfer of knowledge, transformation of knowledge, dan internalisation of values, maka nilai-nilai adat di kampung adat Cikondang dipertahankan dengan cara dipraktekkan oleh warga masyarakat kampung Cikondang yang sudah lebih dulu—para tetua (sesepuh)—kemudian diajarkan dan ditanamkan kepada anak-anak sebagai generasi penerus kampung adat Cikondang.
St. Hanafi Anshori juga mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu institusi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan sosial[84]. Maka di kampung adat Cikondang, Bumi Adatlah yang menjadi institusi tersebut. Bumi Adat bukan sekedar tempat sebagai ritual-ritual mistik saja, akan tetapi mengandung tujuan moral dan sosial pula. Motivasi keyakinan yang mereka buktikan melalui ritual-ritual, menjauhi pantangan-pantangan dan menaati segala aturan yang ada di Bumi Adat itu tidak lain merupakan keberadaan Bumi Adat itu sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib di dalam masyarakat.
Sama halnya dengan agama yang mempunyai fungsi dalam masyarakat, menurut Prof. Dr. H. Ramayulis[85]. Keyakinan masyarakat adat Cikondang kepada leluhur (karuhun) dan Bumi Adat juga mempunyai fungsi dalam masyarakat. Namun perbedaannya ialah fungsi agama berlaku bagi masyarakat luas, sedang keyakinan kepada leluhur dan Bumi Adat berlaku bagi satu masyarakat tertentu, yakni masyarakat adat kampung Cikondang.
Pertama, berfungsi sebagai penyelamat. Setiap manusia selalu menginginkan keselamatan. Jika agama menawarkan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka keyakinan terhadap leluhur dan segala ritual yang dilakukan di kampung adat Cikondang adalah untuk keselamatan kehidupan warga masyarakat di kampung sekitarnya. Mereka meyakini bahwa leluhur yang dipujanya dengan berbagai ritual dapat mendatangkan kesselamatan dan menjauhkan dari berbagai marabahaya. Contohnya adalah ritual Hajat Lembur. Ritual ini mempunyai tujuan untuk keselamatan kampung (lembur) Cikondang itu sendiri dari marabahaya. Dengan segala sesajen dan kelengkapan ritual yang disediakan warga, dan do’a-do’a yang di pimpin oleh kuncen, itu semua ditujukan untuk keselamatan warga masyarakat kampung adat Cikondang. 
Kedua, berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas. Setiap komunitas manusia yang mempunyai keyakinan yang sama, secara psikologis akan memliki rasa satu kesatuan dan solidaritas. Hal ini dirasakan baik secara individu maupun kelompok. Di kampung adat Cikondang, solidaritas ini sangat menonjol antar warga masyrakatnya. Gotong royong dalam berbagai aktivitas di kampung Cikondang sudah menjadi pemandangan yang biasa. Terlebih aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan ritual dan Bumi Adat. Oleh karena ritual-ritual tersebut menyangkut satu identitas kampung, maka hampir semua—karena ada sebagian orang yang tidak—warga masyarakatnya dengan sukarela membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Solidaritas ini akan terus terpupuk dengan adanya kegiatan ritual-ritual yang dilakukan secara kontinyu. Selain dalam kegiatan-kegiatan ritual, solidaritas ini juga terlihat dalam aktivitas antar warga masyarakat sendiri, seperti dalam bercocok tanam atau dalam kegiatan lainnya. Hal ini juga terjadi di warga masyarakat pedesaan lainnya, karena pada dasarnya solidaitas seperti ini memang terjadi di hampir setiap masyarakat pedesaan.
Ketiga, berfungsi sebagai kontrol sosial (Social Control). Keyakinan kepada leluhur dan Bumi Adat menjadi semacam kontrol sosial karena di dalamnya terdapat norma-norma dalam kehidupan. Pantangan-pantangan dan segala aturan yang di terapkan di Bumi Adat menjadi semacam tuntunan dan pedoman dalam bertingkah laku warga masyarakat kampung adat Cikondang. Seperti dilarang bersuara keras, Jangan kencing sembarangan, Jangan memasuki hutan larangan sembarangan, jangan berselonjor sembarangan, jangan mengambil kembali makanan yang sudah jatuh dan sejumlah aturan lainnya. Semua itu tidak lain daripada norma-norma etis yang harus dilakukan, yang secara disadari atau tidak, hal ini menjadi kontrol sosial bagi warganya.
  1. Pelaku
Menurut Koenjtaraningrat, Pelaku ini meliputi umat yang menganut keyakinan suatu agama atau keyakinan, hubungannya satu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam berlangsungnya upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga meliputi organisasi dari para umat, kewajiban serta hak-hak para warganya[86].
Perlu di perhatikan bahwa ritual seperti ziarah adalah ritual yang terdapat juga di daerah lain selain kampung Cikondang. Karenanya ritual ziarah di makam keramat kampung Cikondang tidak hanya diikuti oleh warga masyarakat kampung Cikondang saja, melainkan oleh warga masyarakat daerah lain juga. Sehingga yang mempunyai keyakianan kepada leluhur bukan hanya masyarakat kampung Cikondang saja, melainkan juga masyarakat tradisional lainnya.
Hubungannya antara satu orang dengan orang lain sebenarnya tidak ada hubungan khusus, melainkan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Mereka saling merasakan bahwa dirinya merupakan satu kesatuan sebagai satu warga masyarakat dengan keyakinan yang sama. Oleh karena itu mereka mempunyai rasa solidaritas yang tinggi. Adapun hubungannya dengan pemimpin agama—yang dalam hal ini adalah kuncen—adalah warga biasa. Karena posisi kuncen disini bukanlah penguasa yang menguasai kampung Cikondang, melainkan seseorang yang di tua kan (sesepuh) yang mempunyai kewenangan untuk mengelola Bumi Adat dan memimpin ritual. Baik pada saat ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, kuncen menjadi orang yang selalu dihormati oleh warga. Karena selain kedudukannya yang lebih tinggi daripada warga lainnya, juga karena kebijaksanaannya dan kebaikannya di masyarakat.
Di masyarakat adat kampung Cikondang tidak ada organisasi yang meliputi para penganut tersebut. Karena selain menempati satu daerah yang sama, mereka bukanlah masyarakat modern, melainkan masyarakat tradisional yang tatanan masyarakatnya masih sederhana dan apa adanya. Adapun pembagian tugas di dalamnya—seperti kuncen, pembantu kuncen, ibu-ibu lulugu, pengelola sawah, tukang bersih-bersih dan lain-lain—merupakan sebuah bentuk khidmat kepada Bumi Adat.     






BAB V
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari penelitian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa konsep teologi masyarakat adat kampung Cikondang adalah keyakinan terhadap leluhur (karuhun), disamping menganut agama Islam. Karuhun adalah roh-roh leluhur yang telah meninggal yang dianggap mempunyai jasa sewaktu masih hidup, sehingga tetap dihormati walaupun sudah meninggal. Roh-roh ini dianggap menguasai alam sekitar sehingga warga masyarakat kampung Cikondang harus menjalin hubungan baik dengan karuhun tersebut agar mendapat kebaikan dengan melalui ziarah, ritual-ritual dan pantangan-pantangan. Karuhun ini dipanggil dengan sebutan Uyut. Dia adalah keturunan wali dari Cirebon yang menyebarkan agama Islam di kampung Cikondang dan sekitarnya. Selain uyut, karuhun ini juga adalah roh-roh para kuncen kampung Cikondang sebelumnya, yakni Ma Empuh, Ma Akung, Ma Idil, dan Anom Rumya. Karuhun ini, walaupun diyakini adanya, akan tetapi keberadaannya hanya dianggap media untuk menyampaikan setiap permohonan kepada Allah swt. Karena karuhun ini dahulunya adalah orang-orang yang mulia dan dekat dengan Allah, sehingga setiap permintaan dan permohonan melaluinya akan cepat terkabul.
Tentu saja keyakinan ini memberikan pengaruh terhadap praktik hidup masyarakat adat kampung Cikondang. Dengan keyakinan bahwa roh-roh itu menguasai alam sekitar seperti Bumi Adat, Hutan Larangan, Makam keramat, Kampung Cikondang (Lembur) dan sekitarnya, maka manusia harus menjalin hubungan baik dengan roh-roh tersebut, agar mendapat kebaikan dan terhindar dari segala marabahaya. Praktik ini berupa ritual-ritual dan pantangan-pantangan. Ritual yang ada di kampung adat Cikondang diantaranya, Wuku Taun, Hajat Solokan, Hajat Lembur, Mitembeyan, dan lain-lain. Sedangkan pantangan-pantangan diantaranya, tidak boleh bersuara keras; tidak boleh memasuki Bumi Adat, hutan larangan dan berziarah bagi non-Muslim dan wanita yang sedang haid; tidak boleh memasuki Bumi Adat, Hutan larangan dan berziarah di hari-hari tertentu; dan sejumlah pantangan-pantangan lainnya.


  1. Saran
Masyarakat tradisional seperti kampung adat Cikondang ini merupakan masyarakat adat yang sudah jarang ditemukan. Kalaupun ada, masyarakat tradisional seperti ini kerap kali dipandang sebelah mata. Mengingat banyak kelebihan dan sisi positif dari masyarakat adat semacam ini, maka melestarikannya merupakan hal yang mesti dilakukan. Untuk melestarikan sekaligus memperkenalkannya, penelitian haruslah meliputi semua aspek, agar sebuah masyarakat tersebut dapat dipahami secara komprehensif.
Sementara itu, penelitian yang kami lakukan ini adalah penelitian tentang konsep teologi masyarakat adat kampung Cikondang. Dengan demikian aspek yang diambil hanyalah aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep teologi. Konsep teologi ini tentu tidaklah cukup untuk menjelaskan sebuah masyarakat adat kampung Cikondang. Masih banyak aspek yang mesti ditinjau seperti aspek sejarah kemunculannya, kebudayaan, etika, kosmologi, bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, kesenian dan aspek-aspek lainnya.
Oleh karena itu untuk melestarikan, menginventarisasi, mendokumentasi bahkan memperkenalkan sebuah masyarakat adat kampung Cikondang, penelitian haruslah meliputi aspek-aspek diatas. Sehingga penelitian yang kami lakukan ini memerlukan pengembangan. 


















DAFTAR PUSTAKA

Purnama, Yuzar

(2000). Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

(2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sugiyono

(2014). Metode Penelitian Kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Koentjaraningrat

(2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Pals, daniel L

(2012). Seven Theories of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD.

Kahmad, Dadang

(2009). Sosiologi Agama. Bandung: Rosda.

Ramayulis

(2013). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.

Durkheim, Emile

(2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: IRCiSoD.







[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu antropologi (Jakarta, Rineka Cipta: 2009), 116.
[2] Setiadi dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (kencana: ), 81.
[3] ibid.
[4] Op. Cit, 116.
[5] http://visiuniversal.blogspot.com/2015/01/pengertian-dan-ciri-ciri-masyarakat.html&ei.
[6] Soerjono, S. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajagrafindo Persada: 2007), 143.
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu antropologi (Jakarta, Rineka Cipta: 2009), 295.
[8] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 1177.
[9] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm., 294.
[10] Ahyadi, Abdul A. (1995). Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Hlm 176
[11] Ibid. Hlm. 105.
[12] Ibid. Hlm. 105.
[13] Kahmad, D. (2009). Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hlm. 27.
[14] Pals, Daniel L. (2012). Seven Theories of Religion. Jogjakarta: ircisod. Hlm 41
[15] Ibid. Hlm. 42. Dikutip dari primitif Culture I karya Edward Burnet Tylor
[16] Ibid. Hlm. 43
[17] Ramayulis. (2013). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Hlm. 43.
[18] Purnama, Y. (1999/2000). Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
[19] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi Mahasatya. Hlm. 296
[20] Ibid.                                   
[21] Ibid.
[22][22] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: ircisod. Hlm. 486
[23] Teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/budaya-religi-dan-ritual-antro/. Di ambil pukul 09.00.
[24] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: ircisod.
[25] Ibid. Hlm. 471.
[26] Ibid. Hlm. 226.
[27] Ibid.
[28] Ibid. Hlm 229.
[29] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi Mahasatya. Hlm. 297
[30] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kabupaten Bandung.
[31] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan Nilai Budaya (Bandung, Tim Peneliti Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan: 1999), 8.
[32] Wawancara dengan Anom Djuhana, tanggal 30 Oktober 2015 di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[33] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan Nilai Budaya (Bandung, Tim Peneliti Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan: 1999), 8.
[34] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kabupaten Bandung.
[35] Ibid.
[36] ibid, 13.
[37] ibid, 14.
[38] ibid, 15.
[39] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan Nilai Budaya (Bandung, Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan: 1999), 12.
[40] Wawancara dengan Anom Djuhana, tanggal 30 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.

[41] Hasil wawancara dengan Narasumber (Anom Djuhana), tanggal 30 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[42] Hasil wawancara dengan Narasumber (Abah Ruhiyat), tanggal 4 November 2015 jam 19.30 WIB di rumahnya, Kampung Adat Cikondang.
[43] Ibid.                                                             
[44] Hasil wawancara dengan Narasumber (bapak Ade), tanggal 4 November 2015 jam 08.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.          
[45] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan Nilai Budaya (Bandung, Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan: 1999), 85
[46] seperti dicontohkan oleh Abah Ruhiyat, jika leluhur menggunakan kata kula, sementara orang zaman sekarang kadang-kadang menggunakan kata dewek atau aing. Hasil wawancara dengan Narasumber (Abah Ruhiyat), tanggal 4 November 2015 jam 19.30 WIB di rumahnya, Kampung Adat Cikondang.
[47] Wawancara dengan ibu-ibu lulugu, yang sedang memasak di Bumi Adat, tanggal 30 oktober 2015 pukul 11.00, di Bumi Adat.
[48] Hasil wawancara dengan Narasumber (bapak Ade), tanggal 4 November 2015 jam 08.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
                                                   
[49] Obrolan di Bumi Adat
[50] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kabupaten Bandung.
[51] Hasil wawancara dengan Abah Ruhiyat (pembantu kuncen), tanggal 4 November 2015 jam 17.00 WIB di rumahnya, Kampung Cikondang.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] Hasil wawancara dengan Anom Djuhana (kuncen), tanggal 4 November 2015 jam 16.39 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang.
[56] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kabupaten Bandung.
[57] Ibid.                           
[58] Hasil wawancara dengan Anom Djuhana (kuncen), tanggal 28 Oktober  2015 di Bumi Adat, Kampung Cikondang
[59] Wawancara  dengan bapak Ade (Keluarga keturunan kuncen) pada tanggal 5 November 2015 jam 08.30 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kabupaten Bandung.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Wawancara  dengan bapak Ade (Keluarga keturunan kuncen) pada tanggal 5 November 2015 jam 08.30 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang.
[66] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm., 294.
[67] Ahyadi, Abdul A. (1995). Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Hlm 176
[68] Ibid. Hlm. 105.
[69] Ibid. Hlm. 105.
[70] Kahmad, D. (2009). Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hlm. 27.
[71] Pals, Daniel L. (2012). Seven Theories of Religion. Jogjakarta: ircisod. Hlm 41
[72] Ibid. Hlm. 42. Dikutip dari primitif Culture I karya Edward Burnet Tylor
[73] Ibid. Hlm. 43
[74] Ramayulis. (2013). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Hlm. 43.
[75] Purnama, Y. (1999/2000). Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
[76] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi Mahasatya. Hlm. 296
[77] Ibid.                                   
[78] Ibid.
[79][79] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: ircisod. Hlm. 486
[80] Teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/budaya-religi-dan-ritual-antro/. Di ambil pukul 09.00.
[81] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: ircisod.
[82] Ibid. Hlm. 471.
[83] Ibid. Hlm. 226.
[84] Ibid.
[85] Ibid. Hlm 229.
[86] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi Mahasatya. Hlm. 297

Tidak ada komentar:

Posting Komentar