Ritual Wuku Taun Masyarakat Adat Kampung Cikondang |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
saling berinteraksi. Menurut Koentjaraningrat, yang disebut masyarakat bukan
hanya suatu perkumpulan dimana ada interaksi saja, melainkan harus ada suatu
ikatan khusus. Ikatan tersebut bisa berupa pola tingkah laku yang khas dan
bersifat kontinu, atau sesuatu yang sudah menjadi adat istiadat[1].
Di pihak lain, Krech, Cruthchfield, dan
Ballachey mengatakan bahwa masyarakat dicirikan oleh adanya interaksi,
kegiatan, tujuan, keyakinan, dan tindakan sejumlah manusia yang sedikit banyak
berkecenderungan sama. Dalam masyarakat tersebut terdapat ikatan-ikatan berupa
tujuan, keyakinan, tindakan yang terungkap pada interaksi sosial manusianya[2].
Jadi masyarakat merupakan suatu kolektivitas
manusia yang melakukan interaksi dan mempunyai tujuan yang sama serta telah
adanya jalinan yang berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama. Mereka
menempati suatu kawasan dan mempunyai suatu kebudayaan. Kebudayaan disini bisa berupa
tradisi, nilai-nilai, norma-norma, upacara-upacara tertentu dan lain-lain[3].
Seiring berjalannya waktu, dinamika sosial
merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat dengan arahnya mengikuti
perkembangan zaman. Perkembangan zaman ini, kini sudah sampai kepada akhir abad
kedua puluh dan mulai masuk kepada abad kedua puluh satu. Abad ini, menurut
Yasraf Amir Pilliang dinamakan dengan “milenium ketiga”. Dimana pada saat ini
masyarakat modern sudah mengalami puncaknya, dan mulai melihat kembali ke
peradaban-peradaban sebelumnya. Zaman ini disebut zaman postmodern.
Sebelum mendefinisikan dan membahas masyarakat
postmodern, tampaknya masyarakat modern masih lebih tepat dibahas kaitannya
dengan masyarakat tradisional yang akan menjadi point utama. Mengingat juga
bahwa masyarakat postmodern baru saja memulai peradabannya dan belum begitu
mapan. Sementara zaman ini masih kuat dipengaruhi oleh ke-modern-an.
Masyarakat modern merupakan kesatuan manusia
dengan berbagai macam prasarana yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi
secara intensif, dengan frekuensi yang tinggi. Masyarakat ini sudah mempunyai
berbagai jaringan komunikasi seperti jaringan jalan raya, jaringan jalan kereta
api, jaringan perhubungan udara, jaringan perhubungan laut, dan berbagai macam
jaringan telekomunikasi yang memudahkan warganya berinteraksi jarak jauh[4].
Dengan adanya sarana komunikasi seperti ini,
tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh dari luar akan dengan mudah dapat masuk
ke dalam suatu masyarakat modern. Westernisasi adalah salah satu bukti konkrit
dari pengaruh tersebut. Westernisasi merupakan suatu kebudayaan Barat yang
memasuki kebudayaan-kebudayaan lokal. Hampir seluruh kebudayaan di dunia Di
pengaruhi oleh kebudayaan Barat. Tentu saja Westernisasi ini ada baiknya dan
ada buruknya. Hal ini merupakan dampak dari globalisasi.
Globalisasi sendiri merupakan sesuatu yang
niscaya dimana peradaban manusia semakin tinggi, maka alat-alat pemenuhan
kebutuhanpun semakin canggih. Modernisasi sebagai bentuk globalisasi tidak bisa
dihindari, karena ini merupakan perkembangan zaman. Modernisasi dalam bentuk
apapun menjadi sebuah kewajaran. Karena dengannya, hidup manusia menjadi
mudah.
Namun disudut lain, dampak dari modernisasi
ini, kearifan lokal dalam sebuah kebudayaan seringkali menjadi pudar, bahkan
hilang, karena dianggap kuno. Banyak orang tidak menghiraukannya dan cenderung
tidak peduli, yang pada akhirnya mereka kehilangan identitas kebudayaan. Suatu
wilayah yang kehilangan kearifan lokal, maka akan kehilangan identitas
kebudayaannya. Dari sinilah kearifan lokal dirasakan penting. Walaupun kuno,
akan tetapi kebanyakan di dalam kearifan lokal itu mengandung nilai-nilai
positif. Betapapun derasnya arus modernisasi, jika kearifan lokal tetap
dipertahankan, maka dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin
terjadi, misalnya kehilangan identitas kebudayaan dalam suatu wilayah dan
krisis moral.
Di dalam masyarakat modern, Hal ini seringkali
terjadi. Banyak tradisi zaman dahulu yang dilupakan begitu saja. Nilai-nilai
kearifan lokal hilang tanpa jejak. Hanya segelintir orang saja yang masih mempertahankannya.
Mereka itu biasa disebut dengan masyarakat tradisional.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang
menjungjung tinggi leluhurnya, dan memegang teguh adat istiadat. Mereka masih menjaga
kekayaan warisan dari para leluhur dan enggan mengorbankannya, karena warisan
itu merupakan sesuatu yang mereka anggap berharga seperti nilai-nilai moral,
dan kebersahajaan hidup. Mereka senantiasa saling menjaga keharmonisan dengan
sesama, dengan alam bahkan dengan Tuhan. Keharmonisan tersebut akan tetap
terjaga jika tradisi leluhur tetap dilaksanakan, sebaliknya keharmonisan akan
hancur jika tradisi leluhur sudah dilanggar. Maka pelanggaran terhadap tradisi
akan mendapat hukuman yang bukan hanya berupa fisik seperti teguran, pengucilan
atau pengusiran, tetapi juga berupa batin, mengingat ketergantungan antar warga
masyarakat sangat kuat[5].
Masyarakat tradisional mempunyai kesadaran mendalam
terhadap alam dan sesama. Karena itu mereka hidup dalam kesederhanaan dan
perdamaian. Namun masyarakat tradisional cenderung bersifat tertutup, dan
menaruh curiga terhadap budaya-budaya asing. Karena budaya asing dianggap akan
merusak keharmonisan warga masyarakatnya.
Salah satu ciri dari masyarakat tradisional adalah terjaganya nilai
keagamaan yang dianut. Seperti dikemukakan oleh Soejono Soekanto, masyarakat
tradisional biasanya identik dengan masyarakat pedesaan. Sementara masyarakat
pedesaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) warga memiliki hubungan yang
lebih kuat, 2) sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan,
3) umumnya hidup dari pertanian, 4) golongan orang tua memegang peranan
penting, 5) dari sudut pemerintah, hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat
informal, 6) perhatian masyarakat lebih pada keperluan utama kehidupan, 7)
kehidupan keagamaan lebih kental, 8) banyak berurbanisasi ke kota karena ada
faktor yang menarik dari kota[6].
Koentjaraningrat juga mengemukakan hal yang
sama, bahwa sistem religi merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah
masyarakat. Secara antropologis, dalam sistem
religi itu terdapat konsep teologi (sistem keyakinan) yang dianut. Sistem religi menurut Koentjaraningrat
ditandai dengan adanya: 1) emosi keagamaan. Yaitu getaran jiwa yang
mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan religi, 2) sistem keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang
kekuatan supranatural seperti dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat
dan tanda-tandanya. Konsepsi manusia tentang terciptanya alam semesta
(kosmogoni), bentuk-bentuk dan sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan
konsepsi manusia tentang hidup dan maut, alam
akhirat dan lain-lain, 3) sistem upacara, yang terdiri dari: tempat, waktu, benda-benda, alat-alat, dan pelaku, dan 4) pelaku, yang meliputi
masalah pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang lain, hubungan
dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam kehidupan
sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan bagi warganya[7].
B.
Rumusan Masalah
Dari latarbelakang masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang memegang teguh kearifan
lokal, biasa disebut masyarakat tradisional. Di
dalam kehidupan masyarakat tradisional itu, terdapat konsep teologi
yang dianut, yang kemudian
mempengaruhi praktik hidup mereka. Hal tersebut juga terjadi di masyarakat adat
Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Sebuah
masyarakat adat yang dijadikan objek penelitian kali ini. Dengan demikian,
diajukan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana konsep teologi masyarakat adat Cikondang?
2.
Bagaimana konsep teologi
tersebut mempengaruhi praktik hidup masyarakat adat Cikondang?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui konsep teologi masyarakat adat Cikondang.
2.
Mengetahui seberapa jauh konsep teologi tersebut
mempengaruhi praktik hidup masyarakat adat Cikondang.
D.
Kajian Pustaka
Berdasarkan penilitian tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
yang berjudul: Seleh Taun Mapag Taun;
Tinjauan Nilai Budaya, yang terbit tahun:
1999/2000. Kampung Cikondang ini memiliki sistem teologi tentang Karuhun. Karuhun
inilah yang dipercayai sebagai pelindung (ngauban) anak-cucu mereka. Mereka
dikenal dengan nama Eyang Pameget dan Eyang Istri. Dimana mereka yang pertama
kali membuka hutan Cikondang ini menjadi pemukiman seperti sekarang, sekaligus menyandang
posisi sebagai wali dalam penyebaran agama Islam di kawasan Bandung Selatan,
khususnya kampung Cikondang. Kepercayaan ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari
mereka dalam bentuk ritual-ritual dan pantangan atau tabu-tabuan yang berlaku
di bumi adat dan sekitarnya.
E.
Metode Penelitian
1. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
fenomenologi. Yang dimaksud dengan metode
fenomenologi adalah salah
satu jenis metode penelitian kualitatif, dimana peneliti mengumpulkan
data dengan observasi partisipan untuk mengetahui fenomena esensial partisipan dalam pengalaman hidupnya
(Sugiyono, 2013: 14). Dengan metode ini, dimaksudkan bahwa peneliti menyimpan
terlebih dahulu segala pengetahuan tentang objek yang diteliti, sehingga
data-data yang tampak benar-benar grounded dan orisinal tanpa pengaruh
dari peneliti.
2.
Sumber Data
Menurut Spradley (1980), sumber data dalam penelitian kualitatif memiliki tiga komponen, yaitu: tempat (place),
pelaku (actor) dan kegiatan (activity). Dari ketiga komponen ini, sumber data
dapat diperluas menjadi: 1) Space yaitu ruang dalam aspek fisik, 2) Object yaitu benda-benda
yang terdapat di tempat itu, 3) Act yaitu perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu, 4) Event yaitu rangkaian aktivitas yang
dilaksankan, 5) Time yaitu urutan kegiatan 6) Goal yaitu tujuan yang ingin dicapai
orang-orang 7) Feeling yaitu emosi yang
dirasakan dan diekspresikan oleh orang-orang (Sugiyono, 2013: 313). Dengan itu, penelitian akan dilakukan di
sebuah kampung adat, yaitu kampung adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Dengan pelakunya adalah semua warga masayarakat
kampung Cikondang dan segala aktivitasnya yang terkait
dengan aspek teologis.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Maka Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2013: 316). Dengan wawancara, peneliti
dapat mengetahui berbagai fenomena-fenomena yang terjadi melalui pandangan dan
interpretasi narasumber. Disini narasumber yang diwawancara bukan hanya satu
orang, akan tetapi banyak orang. Sehingga data-data yang didapatkan menjadi
lebih valid.
Observasi adalah metode dimana peneliti terjun
dan terlibat langsung dalam setiap aktivitas partisipan. Sanafiah Faisal (1990),
mengklasifikasikan observasi menjadi tiga, yaitu: observasi partisipatif,
observasi terus terang dan tersamar dan observasi tak terstruktur. Observasi
partisipatif adalah observasi dimana peneliti terlibat dengan kegiatan
sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data
penelitian. Observasi terus terang dan tersamar adalah observasi dimana
peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada
narasumber, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi narasumber mengetahui
dari awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Akan tetapi di satu saat,
peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam melakukan observasi, hal
ini untuk menghindari data yang sengaja disembunyikan—karena bersifat
rahasia—jika diketahui maksud peneliti. Sementara observasi tak terstruktur
adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang
akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti
tentang apa yang akan diamati. Disini peneliti tidak menggunakan instrumen yang
telah baku, melainkan hanya garis besarnya saja (Sugiyono, 2013: 310-312).
Metode yang terakhir ini tidak akan dilakukan oleh peneliti, mengingat bahwa
data-data sekunder tentang objek penelitian ini sudah tersedia dan terbatasnya
waktu.
Teknik yang terakhir adalah dokumentasi. Menurut
Sugiyono, dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Bisa
berbentuk tulisan (cerita, biografi, peraturan, kebijakan dll), gambar (foto,
gambar hidup, seketsa dll) dan karya-karya (karya seni seperti gambar, patung,
film dll) (Sugiyono, 2013: 326). Oleh karena itu, yang harus dipersiapkan oleh
peneliti minimal adalah kamera dan rekorder.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Teori
Teori dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pendapat yang didasarkan
pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi[8].
B. Teori
B.1. Teori Utama (Grand Theory)
Teori
utama (Grand Theory) yang paling dekat dengan konsep teologi adalah
teori sistem religi yang terdapat dalam teori tujuh unsur kebudayaan menurut
Koentjaraningrat. Teori tersebut adalah sebagai berikut[9].
Pertama,
emosi
keagamaan (religious emotion). Yaitu getaran jiwa yang mendorong manusia
melakukan tindakan-tindakan religi.
Kedua,
sistem
keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang kekuatan supranatural seperti
dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat dan tanda-tandanya. Konsepsi
manusia tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), bentuk-bentuk dan
sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan konsepsi manusia tentang hidup dan
maut, alam akhirat dan lain-lain.
Ketiga,
sistem
upacara. Sistem upacara terdiri dari: 1) tempat, 2) waktu, 3) benda-benda dan
alat-alat, 4) pelaku.
Keempat,
pelaku.
Pelaku meliputi para pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang
lain, hubungan dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam
kehidupan sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan
bagi warganya.
Dari teori utama ini kemudian pembahasan dikembangkan berdasarkan
teori-teori lain yang mendukung. Seperti teori-teori
dibawah ini.
- Teori tentang emosi keagamaan (religious emotion)
Emosi
keagamaan (religious emotion), pada umumnya disebabkan oleh berbagai
faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur
fungsional, unsur asali, fitrah, ataupun karunia Tuhan[10].
Prof.
Dr. H. Ramayulis mengutip pendapatnya Nico Syukur Dister Ofm dalam bukunya
“Psikologi Agama” bahwa motivasi yang menyebabkan seseorang beragama itu, pertama,
agama sebagai sarana untuk mengatasi frustrasi, kedua, agama sebagai
sarana untuk menjaga kesusilaan, ketiga, agama sebagai sarana untuk
memuaskan intelek yang ingin tahu, keempat, agama sebagai saran untuk
mengatasi ketakutan[11].
Menurut
Nico syukur Dister Ofm—sebagaimana dikutif oleh Ramayulis dalam “Psikologi
Agama”—bahwa manusia itu mengalami ketakutan tak berobjek[12]. Seperti takut mati,
takut jatuh, takut sakit, takut tidak mendapat jodoh, takut tidak lulus ujian
dan lain sebagainya.
M.
Crawley—sebagaimana dikutip oleh Dadang Kahmad dalam sosiologi agama—juga
mengemukakan teorinya. Jika Nico Syukur menyebut ketakutan-ketakutan itu adalah
ketakutan yang tak berobjek, maka Crawley menyebut krisis dalam hidup individu
yang selanjutnya disebut dengan teori “Masa Krisis dalam Hidup Individu”.
Betapapun bahagianya seseorang, ia harus ingat akan timbulnya krisis dalam
hidupnya. Krisis tersebut bisa berupa bencana seperti sakit dan maut. Krisis
seperti ini tidak bisa dihindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan dan
kekayaan harta benda[13].
- Teori tentang sistem keyakinan
Ilmuwan paling terkenal yang mengemukakan teori
ketuhanan paling primitif adalah Edward Burnet Tylor. Teorinya yang paling
mendukung pembahasan ini adalah teori Animisme. Animisme (berasal dari bahasa Latin yaitu anima yang
berarti roh) yaitu suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya
kekuatan yang ada di balik segala sesuatu[14]. Animisme adalah sistem kepercayaan yang mengganggap bahwa alam ini dikuasai oleh
roh-roh dan jiwa-jiwa. Menurut Tylor—sebagaimana dikutip oleh Pals dalam “Seven
Theories of Religion”:
Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang
telah memiliki budaya berfikir sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis.
Yang pertama adalah apakah yang membadakan antara tubuh yang hidup dan yang
telah mati?, kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan
manusia?. Mencermati dua persoalan ini, para “filosof liar” (savage
philosopher) mencoba menjawabnya dengan dua tahap. Pertama, dengan
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom)
sebagai bayang-bayang dan diri kedua bagi jiwa (terpisah dari tubuh). Kedua,
dengan mengkombinasikan jiwa dan roh, para “filosof liar” berhasil
mendapatkan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi[15].
Dengan demikian, masyarakat primitif kata
Tylor, jika roh itu terpisah dari tubuh, tidakkah benda-benda lain selain tubuh
manusia dapat juga dimasuki roh?. Seperti air, pohon, batu, binatang dan
sebagainya. Dari perspektif ini jelas bahwa sebagaimana roh menggerakan seorang
manusia, maka spiritpun telah menggerakan alam semesta[16].
- Teori tentang sistem upacara
Menurut Fredriek Schleimacher, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend).
Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini, manusia merasakan dirinya
lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan
suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan
inilah timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi
tantangan alam yang selalu dialaminya, oleh karena itu mereka menggantungkan
harapannya kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak adanya. Berdasarkan
konsep ini timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang
dapat melindungi mereka. Sehingga rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat
dibuktikan dalam realita upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama
kepada Tuhannya[17].
Menurut
Koentjaraningrat (1984: 147) sistem upacara (ritual) merupakan wujud kelakuan (behavioral
manifestation) dari religi[18]. Sistem upacara keagamaan
secara khusus mengandung empat aspek yaitu: (a) tempat, (b) waktu, (c)
benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang memimpin dan melakukan
upacara[19].
Masih menurut Koentjaraningrat, upacara-upacara itu juga
mempunyai beberapa unsure seperti (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d)
makan bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci,
(f) menyanyi nyanyian suci, (g) berprosesi atau berpawai, (h) memainkan seni
drama suci, (i) berpuasa, (j) intolsikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan
obat bius sampai kerasukan atau mabuk, (k) bertapa, (l) bersemedi[20].
Diantara
unsur-unsur tersebut, masih menurut Koentjaraningrat ada yang dianggap sangat
penting dalam satu agama, tetapi tidak dikenal di dalam agama lain, demikian
juga sebaliknya. Selain itu satu ritual keagamaan dapat mengandung beberapa
unsur tersebut, tetapi tidak semuanya[21].
Mengenai pengorbanan, seperti pengorbanan ayam hitam,
ayam putih, dan ayam abu di dalam ritual Wuku Taun, yang kemudian di
makan bersama dengan nasi tumpeng yang telah di do’akan, mempunyai aspek
profanitas dan sakralitas. Di dalam The Elementary Forms of The Religious Life,
Durkheim mengatakan, karena makanan selalu membentuk substansi tubuh, maka
makanan yang dimakan secara bersama-sama akan menimbulkan dampak yang sama
dalam diri setiap orang yang memakannya. Menurut Smith, tujuan dari daging
kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan Tuhannya dalam satu ikatan
darah. Sehingga arti dari pengurbanan yang utama adalah aktus penguatan komuni.
Sementara itu, sakralitasnya—masih menurut Durkheim—terdapat dalam seluruh
rangkaian persiapan dalam upacara korban ini, yang mentransformasikan binatang
yang dikorbankan menjadi makhluk yang sakral, kesakralan yang pada gilirannya
akan diperoleh oleh para penganut yang memakannya[22].
Selain
itu, menurut Prawirorahardjono (1986: 67) bahwa setiap ritual mempunyai
ciri-ciri yang sama. Yaitu, 1) hal-hal yang dilakukan sebelum melakukan
penghayatan ritual; 2) pakaian ritual; 3) tempat ritual; 4) perlengkapan
ritual; 5) sikap; 6) arah penghayatan; 7) upacara do’a ritual[23].
Menurut
Emile Durkheim ritual (pemujaan) itu ada dua macam, yakni ritual negatif dan
ritual positif. Ritual negatif atau Durkheim menyebutnya “pemujaan negatif”
adalah ritual-ritual yang hanya menentukan pantangan dan larangan[24]. Sedangkan pemujaan
positif adalah sejumlah perbuatan yang diatur dan diorganisir oleh seperangkat
praktek-praktek ritual[25].
Ritual-ritual ini, selain bersifat sakral dan transenden juga
bersifat profan dan imanen. Elizabeth K.
Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan
suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam
masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya[26].
St.
Hanafi Anshori juga mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu institusi
yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan
sosial[27].
Sama
halnya dengan agama yang mempunyai fungsi dalam masyarakat, menurut Prof. Dr.
H. Ramayulis[28]. Pertama, berfungsi
sebagai penyelamat. Kedua,
berfungsi
sebagai pemupuk rasa solidaritas. Ketiga,
berfungsi
sebagai kontrol sosial (Social Control).
- Teori tentang penganut keagamaan
Menurut Koenjtaraningrat, Pelaku ini meliputi umat yang
menganut keyakinan suatu agama atau keyakinan, hubungannya satu dengan yang
lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam berlangsungnya upacara
maupun dalam kehidupan sehari-hari, selain itu juga meliputi organisasi dari para
umat, kewajiban serta hak-hak para warganya[29].
BAB III
KONSEP TEOLOGI MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG
A. Objek Penelitian
A.1. Geografi
Kampung Cikondang, Secara administratif, menjadi bagian Desa Lamajang
Kecamatan Pengalengan. Kampung Cikondang
berada di perbukitan Bandung Selatan di ketinggian sekitar 700 meter dari
permukaan laut. Berjarak 38 kilometer dari kota Bandung[30]. Di sebelah utara, Desa Lamajang
ini berbatasan dengan Desa Cikalong, Kecamatan Cimaung; sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Pulosari; sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamaju; dan di
sebelah timur berbatasan dengan Desa Cikalong Kecamatan Cimaung. Desa ini
memiliki luas tanah seluas 2. 516. 096 hektar, yang digunakan untuk jalan
sepanjang 2,5 meter, sawah dan ladang 1. 325. 028 hektar, bangunan umum 9.000
hektar, empang 5.000 hektar, perumahan 438. 060 hektar, jalur hijau 12.000
hektar, pekuburan 5.000 hektar, dan lain-lain 516.000 hektar. Daerah ini berada
di perbukitan Bandung selatan dengan ketinggian 7.000 meter di atas permukaan
laut. Curah Hujan sekitar 2.000 milimeter pertahun, suhu udara rata-rata 23° C[31].
Kondisi geografis tersebut menyebabkan kampung
Cikondang menjadi sangat cocok untuk daerah pertanian. Hal ini terbukti dengan
sebagian besar lahan dijadikan untuk bercocok tanam. Jenis tanaman yang tumbuh
di daerah tersebut diantaranya padi, bawang merah, jagung, buncis, kacang
panjang, ketela pohon, ketela rambat, kedelai, dan berbagai jenis sayuran.
Di desa ini terdapat sebuah kampung adat yang
dinamakan kampung Cikondang. Nama Cikondang ini—menurut Anom Djuhana[32]—berasal
dari kata Aci dan Kondang. Aci artinya isi (inti) dan Kondang artinya
terkenal. Kampung ini ada sejak 300 tahun yang lalu, yang didirikan oleh
leluhur pertama, yaitu Uyut.
Kampung Cikondang letaknya kurang lebih
setengah kilometer dari kantor Desa Lamajang[33].
Kampung Cikondang sendiri memiliki luas tanah kurang lebih 3 hektar. Di dalam
kampung Cikondang ini, selain terdapat perkampungan biasa, juga terdapat
wilayah Bumi Adat. Bumi Adat inilah yang menjadikan kampung Cikondang menjadi
kampung Adat. Wilayah Bumi Adat ini terdiri dari: bangunan lulugu (bangunan
keramat), bale-bale (bangunan yang menempel pada bangunan lulugu), leuit
(bangunan tempat menyimpan padi), tampian (kamar mandi), bale
paseban (semacam aula tempat bermusyawarah warga dan menerima tamu),
lisung (tempat menumbuk padi), makam karuhun (kuburan keramat),
hutan larangan (hutan yang dilarang sembarangan orang memasukinya), dan
sawah.
Sejarah adanya Bumi Adat ini bermula dari
peristiwa kebakaran yang menghanguskan semua rumah adat sunda yang ada di kampung
Cikondang. Dulu di kampung
yang diperkirakan berusia 300 tahun itu ada 40 rumah berbentuk rumah adat
sunda. Rumah umumnya dibangun dari bambu, baik dinding maupun lantainya, kecuali tiang penyangganya menggunakan kayu dan atapnya menggunakan ijuk. Rumah-rumah itu lenyap saat terjadi
kebakaran besar tahun 1942. Hanya tersisa satu rumah, yaitu rumah kepunyaan Mak
Empuh [34].
Rumah inilah yang kemudian dianggap sakral dan disebut dengan Bumi Adat.
Disebut Bumi Adat juga karena
jejak peninggalan leluhur hanya tersisa di satu rumah ini. Dari sana, nilai-nilai kearifan hidup
peninggalan leluhur terus dirawat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat kampung Cikondang[35].
A.2. Demografi
Desa Lamajang terdiri atas limabelas rukun
warga (RW), tujuhpuluhlima rukun tetangga (RT), dan duapuluhdelapan kampung.
Yaitu kampung Kasepen dan Cinangka (RW 1), kampung Badra dan Cibiana (RW 2),
kampung Cikondang (RW 3 dan 4), kampung Lamajang (RW 5), kampung Baru dan
Cibolang (RW 6), kampung Karang Tengah dan Jamangan (RW 7), kampung
Cimuncang-Cikanyere-Waspadana (RW 8), kampung Cijengkol dan Awi datar (RW 9), kampung
Cikajang dan Ciluya (RW 10), kampung Cikalong Hilir (RW 12 dan 13), kampung
Pataruman (RW 13), dan kampung Pasir Kihiyang-Cihonje-Ibun-Dayeuh
Rantasa-Tanjakan (RW 15)[36].
Lokasi Bumi Adat sendiri terdapat di Kampung
Cikondang, di dalam wilayah RT 3, RW 3. Menurut pendataan rumah yang dilakukan
oleh desa dan RW setempat[37],
di RW 3 terdapat 110 Umpi dengan jumlah 389 jiwa. masing-masing adalah,
laki-laki 200 jiwa, dan perempuan 189 jiwa.
Penduduk kampung Cikondang semuanya beragama
Islam, karena tidak satupun dari mereka yang menganut agama lain. Dari jumlah
penduduk yang mencapai 389 jiwa ini, terdapat dua buah masjid yakni masjid
Alj-ihad dan masjid Al-Iman[38].
Dari kedua masjid inilah terlihat identitas Islam yang disandang oleh
masyarakat kampung Cikondang. Mereka melaksanakan shalat berjama’ah, shalat
jum’at, pengajian ibu-ibu, dan pengajian anak-anak.
B. Konsep Teologi
B.1. Konsep Ketuhanan
Masyarakat adat kampung Cikondang adalah
masyarakat tradisional yang tatanan masyarakatnya masih bersahaja. Bersahaja
dalam arti bahwa Masyarakat adat kampung Cikondang dalam kehidupannya masih terdapat kesadaran mendalam terhadap
alam, yang menimbulkan rendahnya eksploitasi terhadap alam itu sendiri. Mereka
berupaya menjalin hubungan baik dengan alam lingkungannya, dengan memberikan penghormatan
berupa ritual-ritual. Mereka meyakini jika manusia berbuat baik kepada alam,
maka alampun akan baik terhadap manusia. Ritual-ritual ini tidak jarang
bersifat mistik. Mereka mempercayai adanya roh-roh yang bisa mengendalikan
alam, karena nya ritual disuguhkan dalam bentuk sesajen-sesajen.
Jika melihat dari segi geografis, kampung
Cikondang tidak begitu terisolir, mengingat adanya akses ke kota yang tidak
begitu jauh. Yaitu kurang lebih 38 kilometer jarak ke kota Bandung[39].
Kendati begitu, masyarakat adat Cikondang masih loyal terhadap kearifan lokal,
sehingga tidak tergerus kehidupan kota. Oleh karena loyalitasnya itu, mereka
masih melestarikan tradisi-tradisi leluhur. Seperti meyakini adanya roh-roh
halus.
B.1.1. Tuhan Yang Disembah
Masyarakat
kampung Cikondang menganut agama islam. Hal ini dituturkan langsung oleh Anom
Djuhana[40] “leluhur Cikondang teh
di abad ka-17 pikeun nyebarkeun agama islam, tapi ku simbul. Contona jandela
lima, panto hiji, melangkah sama dengan ke masjid” (leluhur Cikondang, pada
abad ke-17, menyebarkan agama islam melalui simbol. Contohnya jendela lima,
pintu satu, melangkah sama dengan ke masjid). Dengan demikian keyakinan
masyarakat kampung Cikondang adalah kepada Allah SWT. Istilah yang mereka gunakan adalah term “Allah
Subhanahuta’ala”, atau sebagian orang menggunakan term “Gusti Allah”. Hal itu
dibuktikan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan yang mereka lakukan. Seperti
membaca syahadat, shalat, puasa, membaca ayat-ayat suci al-Qur’an dan ibadah-ibadah
lainnya. Identitas islam pun ditunjukkan dengan adanya masjid, para ibu yang
menggunakan jilbab, shalat jum’at, mendidik
anak untuk mengaji di masjid, pengajian ibu-ibu dan lain-lain.
selanjutnya
Anom Djuhana menuturkan “teu mungkin leluhur Cikondang agama Hindu. Sabab
sepuh bapak kapungkur, di tajug taun 50-an janten imam sareng maca khutbah.
Lamun diidinan mah ku bapak di buktikeun lamun tiasa ngaosna. Jadi teu mungkin
nyimpang tina akidah. Mung ari kapungkur mah agama Hindu jeung agama Islam teh
teu pabentrok, jadi adat na teh dilestarikeun we dugi kaayeuna. Conto, pami
bade ritual di rarawisan daun kawung dina lawang. Eta teh ajaran Hindu. Supados
naon eta, nya supados jempe we ”. (tidak mungkin leluhur Cikondang beragama
Hindu. Sebab orang tua bapak (Anom Djuhana) dahulu, di masjid sekitar tahun
50-an menjadi imam dan membaca khutbah (khotib). Kalau mau, akan bapak buktikan
(teks khutbahnya) kalau bisa membacanya. Jadi tidak mungkin menyimpang dari
akidah (islam). Namun pada zaman dahulu itu, agama Hindu dan agama Islam tidak
pernah berselisih, sehingga adatnya dilestarikan sampai sekarang. Contoh kalau
mau melaksanakan ritual, pintu dihias dengan daun aren (rarawisan), dan
adat itu adalah ajaran Hindu. Hal ini dilakukan supaya tentram (tidak ada
perselisihan antara Hindu dengan Islam).
Keislaman
itu juga ditunjukkan dengan beberapa aturan yang berlaku di Bumi Adat. Seperti halnya memasuki masjid, untuk memasuki Bumi
Adat juga harus melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu, keluar dengan kaki
kiri terlebih dahulu, dan wanita yang sedang haid dilarang masuk. Selain itu,
dicerminkan juga dengan sejumlah simbol yang terdapat dalam bangunan Bumi Adat,
seperti lima jendela yang berarti shalat lima waktu, satu pintu yang berarti
bahwa Tuhan itu satu (Tauhid) dan manusia itu berasal dari Yang Satu dan akan
kembali kepada Yang Satu. Bahkan Anom Djuhana mengatakan “upami agama
Kristen, sapertos urang Papua seueurna agama Kristen, di Unpar seueurna agama
Kristen, agama Hindu urang Bali, dikeluarkan aja, anu masuk kesini mah harus
agama Islam ” (kalau agama Kristen, seperti orang-orang Papua kebanyakan
agama Kristen, di Unpar kebanyakan agama Kristen, agama Hindu (yang dianut)
orang Bali, dikeluarkan saja, yang boleh masuk kesini (Bumi Adat) harus agama
Islam). Kendati
begitu, fanatisme tersebut hanya berlaku di
Bumi Adat, dan tidak berlaku disekitarnya.
Dengan demikian, Tuhan yang masyarakat kampung Cikondang
sembah adalah Allah Yang Maha Esa. Untuk menyebut Allah, mereka menggunakan
term “Allah Subhanahuta’ala” atau “Gusti Allah”.
B.1.2. Keyakinan Kepada Leluhur
Selain beragama islam, masyarakat adat kampung Cikondang juga mempunyai keyakinan terhadap karuhun
(leluhur). Karuhun adalah roh-roh leluhur yang telah meninggal yang diakui
mempunyai banyak jasa terhadap kampung Cikondang. Karuhun ini terutama adalah keturunan para wali dari
Cirebon yang menyebarkan agama islam di kampung Cikondang, seperti paparan dari
Anom Djuhana berikut, “Maksadna leluhur teh hoyong ngembangkeun agama islam,
ngan dina penyampaian na teh ku simbul, conto, hayam bodas kudu beresih, hayam
hideung kudu hideng, hayam hawuk ulah hawek. Jandela aya lima, pato aya hiji.
Sabab Jawa barat kapungkur seueurna agama Hindu, supados teu pabentrok, ieu
hoyong ngamajukeun agama Islam, Hindu tetep” (maksudnya bahwa leluhur ingin
mengembangkan agama Islam, hanya dalam penyampaiannya menggunakan simbol,
contoh, ayam putih (maknanya) harus bersih (suci), ayam hitam (maknanya) harus
dewasa, ayam abu-abu (maknanya) jangan serakah. (selain itu)
Jendela (Bumi Adat) ada lima, pintu (Bumi Adat) ada satu. Sebab Jawa Barat pada
zaman dahulu kebanyakan beragama Hindu (maka) agar tidak bentrok, Islam ingin
memajukan Islam, Hindu juga tetap[41].
Karuhun ini konon tidak diketahui namanya sehingga orang
memanggilnya Uyut Pameget dan Uyut Istri “Uyut teu gaduh jenengan (nami),
uyut pameget uyut istri we di celuk dimanamana ge” (uyut ini tidak punya
(tidak diketahui) nama, orang-orang dimana pun juga memanggilnya uyut pameget
dan uyut istri)[42].
Makam kedua uyut inilah yang biasa diziarahi banyak
orang. Orang-orang mengutarakan keinginannya di makam kedua uyut ini. Orang-orang
meminta kesehatan, meminta kekayaan, meminta jodoh, meminta keamanan dan
dijauhkan dari marabahaya, meminta kelancaran dalam usaha, kelancaran dalam
belajar, dan tak jarang meminta kesaktian kepada uyut. Uyut ini yang dianggap
menguasai dan mengendalikan kampung Cikondang, sehingga Setiap perizinan dan
ritual yang dilaksankanpun selalu ditujukan kepada uyut.
Kendati demikian, orang–orang mengatakan bahwa para
karuhun ini hanyalah sebagai media. Abah Ruhiyat mengatakan “upami urang
ngado’a didieu teh di tujukeun nateh ka uyut. Cukang
lantaran nateh ka kolot, ka sepuh, ka keramat (uyut). Batin urang kudu beresih,
ulah titah ka kidul jig ka kaler. Itu (uyut) mah caket (ka Gusti Allah) mang
dugikeun aya kahoyong itu, ieu” (kalau kita berdo’a
disini, maka ditujukan kepada uyut. Media nya adalah keramat (uyut). Batin kita
harus bersih, jangan sampai—kalau dalam istilah bahasa sunda—‘ulah titah ka
kidul jig ka kaler’, uyut itu dekat dengan Allah, (perantara) untuk
menyampaikan berbagai permintaan)[43]. Maksudnya adalah bahwa do’a itu ditujukan kepada uyut.
Hanya saja uyut ini hanya sebagai alat untuk menyampaikan do’a kita kepada
Allah SWT. Karena uyut ini merupakan orang yang mulia dan dekat kepada Allah
(semasa hidupnya), sehingga permintaan kita akan cepat dikabul jika melaluinya.
Senada dengan hal itu, Bapak Ade (keluarga keturunan
Kuncen) mengatakan “sanes hartosna wawartos ka leluhur kanu tos maot, eta
mah tetep ka gusti Alloh ngan cuman via”
(bukan berarti memberitahu kepada leluhur yang sudah mati, hal itu tetap kepada
Allah, hanya saja (leluhur adalah) via)[44].
Dari sini menjadi jelas bahwa leluhur ini hanya sebagai
media untuk menyampaikan setiap permintaan kita kepada Allah. karena mereka
dianggap orang yang mulia dan dekat kepada Allah. Sementara keyakinan hati
tetap kepada Allah SWT.
Berdasarkan informasi dari penelitian yang dilakukan oleh
tim peneliti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral
Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, bahwa Uyut Pameget dan
Uyut Istri ini yang dipercaya melindungi (ngauban) anak cucunya yakni
warga masyarakat kampung Cikondang. Kedua leluhur ini yang
berjasa membuka hutan sehingga menjadi pemukiman seperti sekarang ini[45].
Berdasarkan pengalaman dari Abah Ruhiyat (seorang
pembantu kuncen) bahwa meminta kepada karuhun itu sangat dirasakan sekali
kebenarannya. Ketika meminta rizki, misalnya kadang-kadang langsung dikabulkan.
Seperti perkataannya “...eta teh ga’ib, ngan asa ngobrol weh di makam, ceuk
katerangan, ceuk karamat teh bener, ceuk uyut, karaos eta teh. mun menta rizki
teh, ari mulang teh sok aya nu masihan artos, rokok...” (...leluhur itu
ga’ib, tapi (dengan leluhur itu) seperti ngobrol di makam, berdasarkan
keterangan, keramat itu benar, (katakan saja) kata uyut, benar-benar terbukti. Kalau
meminta rizki, maka sepulang ziarah kadang-kadang ada yang memberi uang,
rokok...). Jadi menurut penuturan Abah Ruhiyat, bahwa keterangan dari leluhur
itu benar-benar terasa manfaatnya. Saat meminta rizki pun langsung terkabul
bagaimanapun caranya. Maka Abah Ruhiyat semakin percaya dengan adanya karuhun. Dan
menurutnya karuhun itu adalah orang yang mulia, orang yang dekat dengan
Allah, dan perkataannya pun sangat sopan santun, Contoh “...lamun urang mah
aing, dewek, ari leluhur kapungkur mah nyebatnage kula...” (kalau kita
menyebut aing atau dewek, kalau leluhur dulu menyebutnya dengan
istilah kula)[46]. Sehingga permintaan yang disampaikan melalui mereka
akan cepat dikabulkan.
Dengan demikian, masyarakat adat kampung Cikondang
mempunyai keyakinan terhadap karuhun. Namun karuhun tersebut
bukanlah tujuan utama. Karuhun hanyalah media untuk menyampaikan
permintaan kepada Allah. Artinya setiap permintaan tetap ditujukan kepada Allah
dengan melalui karuhun.
B.2. Ritual
Ritual-ritual yang dilaksanakan di kampung
adat Cikondang adalah manifestasi dari keyakinan masyarakat kampung Cikondang
terhadap leluhur. Ritual-ritual tersebut
diantaranya, Ziarah, Wuku Taun, Hajat Lembur, Hajat Solokan, Mitembeyan, Beluk
dan lain-lain.
B.2.1. Tradisi Wuku Taun
Wuku
Taun adalah ritual yang dilaksanakan pada setiap tanggal 15 Muharram. Ritual
ini di pimpin oleh juru kunci (Kuncen) yang tempatnya di Bumi Adat. Pada ritual
ini semua masyarakat kampung Cikondang bergotong royong saling membantu dengan
sukarela. Yang dipersiapkan biasanya tumpeng, ayam (sebagai lauknya), dan rujak
suro—rujak suro ini terdiri dari pisang mas, nanas, dan parut
kelapa, kemudian di masak dengan gula aren dan air.
Ada
dua macam tumpeng, yaitu tumpeng lulugu dan tumpeng biasa. Tumpeng lulugu
adalah tumpeng yang dimasak di Bumi Adat oleh para ibu yang sudah tidak haid
(baca: menopause). Tumpeng lulugu ada tiga, pertama tumpeng beras sawah,
tumpeng beras huma, dan tumpeng beras ketan. Beras-beras ini harus di tumbuk di
lisung lulugu oleh sebanyak empat puluh orang ibu, dan tidak boleh di giling
menggunakan diesel[47].
Lauk untuk tumpeng lulugu harus ayam yang terdiri dari
tiga macam, yaitu ayam putih (hayam bodas), ayam hitam (hayam hideung),
dan ayam abu-abu (hayam hawuk). Menurut penuturan Anom
Djuhana (kuncen sekarang) bahwa ketiga macam ayam ini mempunyai arti tertentu.
Ayam putih (hayam bodas) adalah bermakna suci, ayam hitam (hayam
hideung) adalah makna bahwa kita harus hideng (baca: dewasa), dan
ayam abu-abu (hayam hawuk) adalah makna bahwa kita tidak boleh hawek
(baca: serakah).
Tumpeng
lainnya adalah tumpeng biasa. Tumpeng ini dibuat oleh para warga yang
dikumpulkan di Bumi Adat untuk di-hamin –kan bersama dengan tumpeng
lulugu. Tumpeng ini jumlahnya banyak, bisa mencapai 170-200 tumpeng, tergantung jumlah warga yang membuat,
yang kemudian setelah di-hamin-kan tumpeng-tumpeng ini dibagi-bagikan
kembali kepada warga disertai dengan makanan yang dibuat oleh para ibu dan
diwadahi dengan susudi, kisa dan takir.
Setelah
ritual (hamin) oleh kuncen, kemudian tumpeng-tumpeng tersebut di bagikan
kepada orang-orang dan para tamu yang hadir di acara tersebut. Masing-masing
mendapat satu cangkir rujak suro, satu piring nasi tumpeng dan satu
piring sayur ayam.
Tradisi
Wuku Taun sebenarnya di laksanakan mulai dari tanggal 1 Muharram, dan acara
puncaknya adalah tanggal 15 Muharram. Namun ritual ini belum berakhir, masih
ada ritual Ngiring kadua dan Ngiring katilu. Ritual ini
dilaksanakan jelang tiga hari dari tanggal 15 Muharram, yakni tanggal 18 dan 21
Muharram. Ngiring kadua dan ngiring katilu ini sama seperti ritual
tanggal 15 Muharram—membuat tumpeng dan memotong ayam yang kemudian di haminkan
oleh kuncen di Bumi Adat—akan tetapi tidak semeriah dan sebanyak tanggal 15. Jika tanggal 15 dihadiri oleh semua warga,
bahkan mengundang para petugas pemerintahan setempat sampai bupati, sementara
di ngiring kadua dan ngiring katilu hanya dihadiri oleh orang-orang
penting dari Bumi Adat. Makanan yang di buat pun hanya tumpeng lulugu dan rujak
suro saja.
Tradisi
Wuku Taun ini menurut penuturan Anom Djuhana (kuncen), adalah salah satu cara
untuk mengikat tali persaudaraan diantara warga masyarakat kampung Cikondang.
Karena dengan adanya ritual ini, semua warga akan datang dengan sukarela untuk
bergotong royong. Disinilah masyarakat berkumpul, bertegur sapa, dan saling
membantu satu sama lain. Jadi disamping mempertahankan adat leluhur, ritual ini
juga bermanfaat untuk mempererat tali silaturahmi.
B.2.2. Ziarah
Ziarah adalah kegiatan berdo’a dan memohon
kepada Allah melalui perantara leluhur. Kegiatan ini dilaksanakan di makam para
leluhur. Ziarah
ini dianggap sakral dan suci, karenanya ada aturan-aturan dan larangan-larangan
tertentu dalam pelaksanaannya. Misalnya
waktu. Waktu ziarah yang baik adalah malam senin dan malam kamis atau siang
hari di hari apapun. Aturan lainnya yaitu harus wudhu terlebih dahulu sebelum
berangkat ziarah, mendahulukan kaki kanan dalam melangkah ke makam, mengucapkan
salam kepada ahli kubur, dan wanita haid dilarang berziarah.
Ziarah ini dipimpin oleh juru kunci atau kuncen. Sementara yang diziarahi adalah makam leluhur Cikondang, yaitu Uyut
Pameget dan Uyut Istri, Ma
Empuh (kuncen pertama), Ma Akung (kuncen kedua), Ma Idil
(kuncen ketiga), Anom Rumya (kuncen keempat), dan makam karuhun-karuhun
yang lain. Dalam pelaksanaannya, ziarah
ini diawali dengan membakar menyan di atas kuburan, menyemprotkan minyak wangi
ke setiap batu nisannya, dan sambutan dari kuncen. Selanjutnya membaca tawasul,
al-Fatihah, al-Baqarah ayat 1-5, dilanjutkan
dengan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, kemudian ditutup dengan
pembacaan do’a. Seperti
dibawah ini.
“audzubilahiminasyaitonnirojim bismilahirohmanirrahim
assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Alhamdulilah alhamdulilahirobbil
alamin wabihi nastain ala umuriddunya wadin wa ala alihi wasohbihi ajmain.
Ashadu ala ilaha ilalloh wa ashadu ana muhammadarosululloh. Allahumma soli ala
muhammad wa ala ali sayidina muhammad. Puja puji syukur urang sami-sami panjatkeun
ka Allah subhanahuwata’ala oge teu hilap salam, sholawat serahkeun ka Nabi Muhammad salallohualaihiwassalam. Mugi
ka kulawargana ka para sahabatna ka tabi’in-tabi’at na, tug duhi ka urang
sadayana anu ngikut kana ajaran mantenna, amin. Pangersa anu dipayunan
panginten leluhur Cikondang uyut anu dipihormat, oge para hadirin anu sami
hadir panginten boh ti Bandung na, boh ti cikanyere, boh ti Badr sadayana anu
sami-sami dipihormat. Tah ieu kawakilan ku hadirin sadaya simkuring seja
ngadugikeun permaksadan, mudah-mudahan anu ku simkuring tos didugikeun
permaksadanna naon rupi permaksadan na mudah-mudahan sadayana sing dipasih
barokah ku Allah subhanahuwataa’la, amin. Tah simkuring nguningakeun panginten,
nguningakeun ka leluhur Cikondang nyaeta Uyut, oge ka Ma Empuh, juru kunci nu
kahiji, teras nu kadua panginten Ma
Akung, uyut simkuring panginten, teras ka Ma Idil, umpama ning ka anom Rumya,
oge ka Ma Enen, ..... oge teu hilap bapak Ita sinareng rengrengan, sok sering
diuninga’an, tah simkuring nyangakeun silaturahmi mudah-mudahan katampi, ...
nguningakeun simkuring ka pertemuan panginten, kahiji ku sepuh ti Parma ajin
oge sareng Agus, oge panginten marurangkalih ti UIN panginten opatan, oge
panginten ti Badrakaya pun lanceuk, kang Ono, kasadayana seja silaturahmi,
mudah-mudahan ku ngalangkungan silaturahmi ieu, naon rupi pamaksadan na
masing-masing samulihna ti dieu mudah-mudahan we cing di kobul ku Allah
subhanahuwataa’la, amin. Tah simkuring nguningakeun masih keneh ka leluhur, anu
ka palih lebakna ka si Mbah Diah, ka Mbah Sulkiah, oge ka leluhur Lamajang,
Sembah Dalem, Kapalun, Bojong, Cikajang, Cipaguriang, daerah atuh palih
kidulna, Cinugu, Ciranganyang, Cikadu, Tamangbeusi, Langlang Buana, Cakra
Buana.... nu nyalindung... sami ku simkuring dipihormat. Tah simkuring
nyanggakeun silaturahmi mudah-mudahan katampi, panguningakeun simkuring ieu
...nyaeta Rukaya, anjeuna panginten ti Badra mung didamelna di Belitung, tah
mudah-mudahan anjeuna... sataun sakali tiap Muharram anjeuna sok ngadeuheus ka
leluhur, tah mudah-mudahan ku ngalangkungan silaturahmi ieu, Rukaya
mudah-mudahan Allah subhanahuwataa’la kahiji panginten anjeuna sing disehatkeun
rohani na jasmani na, dibabarikeun ngarasanan rumahtanggana....kana panghasilan
nana, amin. Mung nyakitu anjeuna teh katerapan panyawat, tah simkuring teh
diuningaan ieu ka leluhur pangusulkeun ka Allah subhanahuwataa’la, da panginten
uyut mah tos caket ka Allah subhanahuwataa’la,
mudah-mudahan we pangusulkeun ka Allah subhanahuwataa’la boh bilih ieu Rukaya
boh di Badra na boh di Belitung na, anjeuna boh tina ucap, tekad, lampah, bilih
ieu mah, kasiku ku laku, kasepak ku lampah, tah simkuring teh nyuhunkeun
dihapunten, tah simkuring teh nyuhunkeun pangampunan mudah-mudahan, simkuring
mah teu terang teu damang na, boh ceuk paripaos.....simkuring teu terang,
tadina terang simkuring mah tadina damang, mudah-mudahan we ku ngalangkungan
silaturahmi, ku ngalangkungan ziaroh ieu mudah-mudahan Allah subhanahuwataa’la
ngadamangkeun kana panyawat ieu Rukaya. Tah eta panginten pamaksadan nana. Oge
simkuring titip panginten ieu ka leluhur pangusulkeun ka Allah
subahanahuwataa’la, anjeuna damel di Belitung teh, mudah-mudahan anjeuna,
kahiji sing rahmat sing salamet, sing ditaekkeun boh gajihna boh..... ”
walaupun demikian, keyakinan kita tetap kepada Allah,
karena karuhun hanyalah perantara bagi setiap permintaan. Hal ini dikatakan
oleh Bapak Ade, “sanes hartosna wawartos ka leluhur kanu tos maot, eta mah
tetep ka gusti Alloh ngan cuman via”
(bukan berarti memberitahu kepada leluhur yang sudah mati, hal itu tetap kepada
Allah, hanya saja (leluhur adalah) via)[48].
B.2.3. Tradisi Hajat
Lembur
Tradisi
Hajat Lembur adalah tradisi selamatan kampung yang dilakukan setahun sekali
tiap bulan safar di tengah-tengah kampung Cikondang.
Selamatan ini layaknya ritual Wuku Taun, yakni dengan membuat tumpeng dan di hamin
kan oleh kuncen. Semua warga bergotong royong dalam mensukseskan acara ini.
B.2.4. Tradisi Hajat
Susukan
Tradisi hajat susukan adalah Ritual yang dimaksudkan
untuk menjaga aliran air dari hutan untuk mengairi sawah (irigasi) yang ada di desa Lamajang yang diadakan setiap setahun sekali. Ritualnya dilakukan di hulu sungai (hulu wetan).
Seperti halnya hajat-hajat yang lain, hajat susukan pun dilakukan dengan menghamin
kan tumpeng dan menyembelih hewan seperti kambing, yang kemudian
dibagi-bagikan kepada warga dan semua orang yang hadir di tempat itu. Baik
warga masyarakat kampung Cikondang maupun tamu berbondong-bondong ke hulu
sungai untuk menghadiri acara tersebut. Selain hajat susukan, juga ada yang
dinamakan dengan hajat Talang. Hajat Talang adalah ritual yang dimaksudkan
untuk menjaga mata air agar tetap bisa mengalir ke rumah-rumah warga. Pelaksanaannya sama seperti hajat susukan.
B.2.5.
Tradisi Mitembeyan
Tradisi
mitembeyan adalah ritual yang biasa dilakukan di sawah yang akan ditanami atau
di panen. Ritual ini dipimpin oleh kuncen, dimulai dengan menyediakan rujak,
membakar menyan dan di hamin kan. Kemudian menanam padi atau memanennya secara
simbolis di dahului oleh kuncen dan dilanjutkan oleh yang lain. Ritual ini dua
kali dilaksanakan, yaitu pada sebelum menanam (tandur), dan sebelum
panen.
Makna
dari ritual ini adalah bahwa sawah itu adalah milik Allah, maka jika kita ingin
menggunakannya, baik mengelola atau memanen harus meminta ijin kepada
pemiliknya. Jika tidak, perbuatan ini sama saja dengan mencuri. Karena itu
tradisi mitembeyan ini dimaksudkan sebagai permintaan ijin kepada pemilik sawah
dan segala isinya, yaitu Allah[49].
B.2.6. Tradisi
Kesenian Beluk
Kesenian
Beluk adalah kesenian khas kampung Cikondang yang berupa nyanyian (aosan)
tanpa musik. Menurut dokumen, Kesenian beluk
ini seni vocal atau seni suara yang tidak diiringi instrument dengan nada yang
tinggi dan melengking-lengking. Kata beluk berasal dari kata ba dan aluk.
Ba artinya besar dan aluk artinya ‘gorowok’ atau dalam bahasa Indonesia ‘berteriak’[50].
Menurut Abah Ruhiyat sebagai pemain beluk,
nyanyian ini tidak berdasarkan aturan-aturan tangga nada
Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si-Do ataupun
Da-Mi-Na-Ti-La-Da. Aturannya berada dalam sambung menyambungnya lagu. Nyanyian
ini terdiri dari tiga tingkatan nada, dari mulai nada yang rendah ke nada yang
tinggi. Isinya adalah pepatah-pepatah (pepeling) bagi manusia. Kesenian
tersebut di mainkan oleh lima sampai sepuluh orang. Yang biasa melantunkan
beluk diantaranya Abah Ruhiyat sendiri, Anom Djuhana (kuncen), Bapak Kaman,
Mang Dodo, Ade dll[51].
Kesenian
ini biasanya ditampilkan dalam acara 40 hari melahirkan, marhaba, kadang-kadang
juga dalam Wuku Taun, nyalametkeun bumi dll. Kesenian ini merupakan
kesenian turun temurun yang senantiasa dilestarikan. Berbeda dengan kesenian
lain seperti Tarawangsa. Kesenian Tarawangsa merupakan kesenian bawaan dari
Cirebon dan bukan kesenian khas kampung Cikondang. Oleh karena itu yang menjadi
prioritas untuk dilestarikan adalah kesenian Beluk[52].
Kesenian
ini semacam pupuh seperti asmarandana, kinanti, sinom, dangdanggula dll. Namun
berbeda syairnya. Sebenarnya tembang ini tidak begitu rame Abah Ruhiyat mengatakan. Namun yang diutamakan adalah
maknanya. Makna dari kata-kata tembang ini adalah pepatah (papagah)
untuk kehidupan manusia kedepan. Contoh syairnya adalah “lamun urang boga
rizki, kudu gedena ibadah, kanu kolot, kanu anom... ”[53].
Di
dalam ceritanya, yang menjadi tokoh utama bernama Barjah. Barjah memberikan
pepatah kepada anak-anak untuk hidup kedepannya (Barjah mamagahan
murangkalih pikeun hirup kapayunna). Tembang ini di bukukan dalam bentuk
tulisan arab pegon
(tulisan Arab berbahasa sunda) oleh orang-orang terdahulu dan dokumennya
masih ada sampai sekarang. Cerita Barjah
ini
menurut Abah Ruhiyat kemungkinan benar-benar terjadi di zaman dulu[54].
B.3. Tempat Keramat
B.3.1.
Bumi Adat
Bumi
Adat adalah wilayah 3 hektar (kurang lebih) di kampung Cikondang yang dianggap
sakral. Mengenai kesakralan ini, Anom Djuhana mengatakan[55] “Anu teu kaduruk Ieu
hiji, amanat sesepuh kapungkur, Omat ieu Bumi teh, mun ceuk urang Sunda mah
lamun panjang teu kenging di teukteuk, pondok teu kenging di sambung, bentuk,
rupa teu kenging di robah, ukuran, luhur, tinggi, lebar...” (yang tidak
terbakar hanya ini satu (Bumi Adat), (oleh karena itu) amanat dari sesepuh
(katanya), “ omat ieu Bumi teh (kalau dalam istilah bahasa Sunda) lamun
panjang teu kenging di teukteuk, lamun pondok teu kenging di sambung”,
bentuk, rupa, tidak boleh di rubah, (begitu juga) ukuran (seperti) panjang,
tinggi, lebar).
Bumi Adat mempunyai ukuran lebar 8 meter dan panjang
12 meter yang artinya 8 menyatakan bulan dan 12 menyatakan tahun. Jendela rumahnya ada 5 buah yang mengandung arti
shalat 5 waktu. Dan pintunya ada satu yang mengandung arti bahwa tuhan itu ada
satu, tempat kita kembali[56].
Bangunan itu berbentuk rumah panggung. Di dalamnya terdapat ruang tengah atau bale dan dua kamar. Satu kamar untuk juru kunci (kuncen). Kamar ini merupakan kamar terlarang,
kata Anom Djuhana “...kamar
larangan, teu aya nanaon, teu kenging di boboan, di kontrol sataun dua kali,
ngontrol hungkul” (kamar larangan,
tidak terdapat apa-apa, tidak boleh di gunakan sebagai tempat tidur, dikontrol
dua kali dalam setahun, hanya di kontrol saja). Jadi kamar ini tidak boleh
sembarangan dimasuki, yang boleh masuk hanya kuncen, dan itupun hanya 2 kali
dalam setahun. Kamar satu lagi yaitu untuk menyimpan beras, yang disebut goah.
Ruang Tengah atau bale yang ada di ruangan itu menyatu dengan dapur, ruang
tengah biasanya digunakan juru kunci (kuncen rumah adat) untuk menerima
tamu yang datang berkunjung dan sekaligus digunakan untuk acara ritual yang
rutin diadakan tiap tahun, sedangkan dapur hanya digunakan untuk menanak
nasi dan memasak air. Di dalam rumah adat tidak banyak terdapat perlengkapan
rumah tangga, kecuali diantaranya lemari dan sejumlah peralatan makan dan minum
untuk menjamu tamu. Seluruh peralatan seperti piring makan terbuat dari seng,
dan untuk minum terbuat dari batok kelapa dan bambu, perabot rumah
adat lainnya diantaranya seeng, aseupan, bakul,
pengarih, hihid, nyiru, baki yang terbuat dari kayu dll. Karena listrik tidak
boleh digunakan, penerangan di Rumah Adat cukup menggunakan cempor (lampu
minyak)[57].
Bumi
Adat ini terdiri dari bangunan lulugu, leuit, tampian, paseban,
lisung, makam karuhun, hutan larangan dan sawah. Bangunan lulugu
adalah bangunan sentral dari Bumi Adat, yang menjadi tempat berbagai ritual.
Yang berhak meninggali bangunan lulugu adalah kuncen.
Leuit
adalah tempat menyimpan padi yang sudah dipanen. Tampian adalah kamar mandi,
sedangkan paseban, “bale paseban teh, maksadna teh sateuacanna anu kunjungan
teh boh mahasiswa boh tamu timana wae, dipasihan heula petunjuk di ditu,
petunjukna teh boh pantangan boh naon bae dipasihan heula petunjuk di ditu.”
(bale paseban itu maksudnya adalah untuk memberikan petunjuk kepada pengunjung,
baik mahasiswa maupun tamu yang lainnya sebelum memasuki Bumi Adat. petunjuknya
bisa berupa pantangan-pantangan Bumi Adat atau yang lainnya). Lisung adalah
tempat menumbuk padi yang akan digunakan untuk ritual. Sedangkan hutan larangan
adalah wilayah hutan di belakang Bumi Adat yang tidak boleh di masuki oleh
sembarangan orang, dan tidak boleh menebang pohon sembarangan. Akan tetapi ada hal penting lain dibalik
larangan itu, “ari maksadna hutan larangan teh tarbiyah keur urang, ulah
saban jelema wae bebas nuar kai, nu akhirna akibatna urang kota nu keuna
musibahna, nyaeta banjir” (maksud dari adanya hutan larangan itu adalah
pembelajaran bagi kita, jangan sembarang orang bisa menebang pohon, yang
akhirnya orang-orang kotalah yang terkena dampaknya, yaitu banjir)[58]. Pesan ini adalah pesan
berharga yang terselubung dalam sebuah pantangan, dimana hal ini sulit
ditemukan di dalam kesadaran manusia pada zaman sekarang.
Batasan
Bumi Adat ini adalah pagar bambu yang terdiri dari lima pagar atau Bapak Ade[59] menyebutnya lima lapis.
Lapis pertama hingga lapis terakhir berurutan mulai dari utara sampai selatan.
Wilayah sekitar di dalam pagar disebut oleh Bapak Ade sebagai Kandang Jaga. Seperti
paparannya sebagai berikut “di pager lima jajar, disebatna ieu (Bumi Adat)
kandang jaga. Jadi aya lima lapis, nu kahiji di luar itu, dua ieu, tilu eta
tah, opat di pengker, lima nu ujung itu tuh. Jadi anu dibatas ku ieu mah
wayahna tah barang nasional teh, anu siga model modern teh wayahna (teu kenging
lebet)” (di pagari oleh lima lapis pagar. Bumi Adat ini disebutnya kandang
jaga. Jadi ada lima lapis, yang pertama di luar sana, dua ini, tiga itu tuh,
empat di belakang, lima yang berada di ujung sana. jadi yang dibatasi ini,
tidak boleh tidak barang nasional seperti barang-barang modern tidak
digunakan).
Karena
sakralnya Bumi Adat ini, konon jika mengambil gambar di Bumi Adat, tidak akan
muncul gambar apapun (blank) dan tidak terdapat jaringan telepon, hanya saja
setelah banyak yang meneliti, sementara penelitian membutuhkan bukti berupa
foto, maka kuncen meminta izin kepada leluhur melalui ziarah, agar Bumi Adat
bisa di dokumentasikan. Sehingga sampai sekarang Bumi Adat muncul di kamera dan
terdapat pula jaringan handphone.
Selain
itu, kesakralannya juga di utarakan oleh Anom Djuhana[60] “aneh bapa mah, ari
imah kieu seueur nu nararoskeun, ari bumi bapa anu tembok teuaya nu
nararoskeun. Tah kaanehan bumi adat teh didinya ”. (bapak merasa aneh,
kenapa rumah seperti ini (Bumi Adat) banyak yang menanyakan, sedangkan rumah
bapak yang sudah ditembok tidak ada yang menanyakan. Disinilah keanehan dari
Bumi Adat). Anom Djuhana menganggap ketertarikan wisatawan dan peneliti
terhadap Bumi Adat kampung Cikondang adalah sebuah keanehan. Dimana Bumi Adat
yang hanya merupakan sebuah bangunan sederhana akan tetapi dapat mendatangkan
banyak wisatawan dan banyak peneliti. Terlepas dari maksud para wisatawan dan
para peneliti tersebut, Keanehan itu bisa saja dikaitkan oleh Anom dengan
hal-hal yang transenden. Sehingga nampaklah nilai-nilai mistik dari Bumi Adat
tersebut.
Selanjutnya
Anom Djuhana mengatakan[61] “ku ayana bumi adat
teh alhamdulilah silaturahmina, urang teh jadi seueur dulur” (dengan adanya
Bumi Adat, bisa mempererat silaturahmi, sehingga kita jadi banyak saudara). Hal
inilah yang menjadi titik penting dari Bumi Adat kampung Cikondang. Bumi Adat,
senantiasa menjaga hubungan sesama manusia dengan sangat baik, dimana hal ini
sudah tidak terjadi di masyarakat kota (baca: individualis). Hubungan baik ini
terjadi berkat kesadaran dari masing-masing masyarakatnya sendiri. Dengan
adanya tradisi-tradisi yang dilakasanakan, maka masyarakat berpartisipasi
dengan sukarela dan bergotong royong. Sebagaimana disimbolkan oleh hayam
hideung (ayam hitam) yang maknanya adalah hideng (dewasa). Dalam
artian bahwa untuk bergotong royong dan saling membantu, masyarakat tidak harus
di ajak atau disuruh untuk berpartisipasi, mereka datang dengan sendirinya.
Beberapa
pantangan atau tabu di Bumi Adat :
1. Tidak
boleh memasuki Bumi Adat dan jiarah di hari selasa, jum’at dan sabtu;
2. perempuan yang sedang haid tidak boleh
memasuki bangunan lulugu, tidak boleh jiarah, dan tidak boleh memasuki hutan
larangan;
3. Orang-orang
non-muslim tidak boleh memasuki bangunan lulugu, tidak boleh jiarah dan tidak
boleh memasuki hutan larangan;
4. Di
wilayah Bumi Adat tidak boleh menggunakan barang pecah belah, listrik dan
barang-barang elektronik;
5. Di
wilayah Bumi Adat tidak boleh membuat gaduh, dan harus berbicara sopan;
6. Untuk
memasuki bangunan lulugu harus mendahulukan kaki kanan, dan apabila mau keluar
harus mendahulukan kaki kiri.
7. Tidak boleh menginjak dan menduduki Bangbarung
(bagian alas pintu);
8. Petugas
memasak di bangunan lulugu untuk keperluan ritual harus perempuan yang sudah
tidak haid (menopause);
9. Tidak
boleh melangkahi makanan dan barang-barang untuk ritual;
10. Tidak
boleh menginjak parako (bagian luar perapian atau hawu);
11. Tidak
boleh selonjor ke arah utara dan timur;
12. Tidak
boleh buang air baik kecil maupun besar menghadap selatan;
13. Makanan
yang dimasak untuk keperluan ritual tidak boleh dicicipi terlebih dahulu,
makanan yang jatuh tidak boleh diambil lagi, selama memasak, yang memasak harus
puasa (artinya tidak boleh makan atau minum apapun selama memasak, kecuali
telah selesai);
14. Hewan
yang disembelih untuk ritual Wuku Taun harus ayam kampung yang berwarna putih,
hitam dan abu-abu;
15. Memasuki
hutan larangan tidak boleh menggunakan alas kaki;
16. Ada
satu kamar yang di dalam bangunan lulugu yang tidak boleh dimasuki, kecuali
oleh kuncen, dan kuncen pun hanya satu kali dalam setahun;
17. Dan
lain-lain.
Pantangan-pantangan
diatas tidak boleh dilanggar. Orang-orang yang melanggar akan merasakan
akibatnya sendiri. Seperti dicontohkan oleh Anom Djuhana “tos aya kajantenan-kajantenan kapungkur,
waktos bapak umur tilu taun, dinten saptu kajadianna. Juru kunci jaroh ka
makom, mun ceuk urang Sunda mah katindih ku kari-kari, katinggang ku darigama,
geubis dugi socana kaluar kacungkal ku tutunggul digunting langsung. Eta poe
saptu. Ayeuna salasa nuar kai teu runtuh najan sapat oge. Ayeuna juma’ah, ieu
mah anu kaalaman ku bapak. Bapak teh nuju nerapkeun talahab, suhunan potong,
bapak teh geubis kawas nu ka aclengkeun tebih”. (sudah terdapat
kejadian-kejadian pada jaman dahulu, waktu bapak (Anom Djuhana) berusia tiga
tahun. Kejadian tersebut terjadi pada hari sabtu. Juru kunci ziarah ke makam,
kalau istilah bahasa Sunda adalah katindih ku kari-kari, katinggang ku
darigama, juru kunci itu jatuh hingga matanya tercungkal keluar dan
digunting langsung. Kejadian ini terjadi pada hari sabtu. Kejadian lain adalah
hari selasa. Di hari selasa ini menebang pohon tetapi tidak tumbang walaupun
sudah patah. Selain itu, di hari jum’at. Kejadian ini dialami oleh bapak (Anom
Djuhana) sendiri. Ketika bapak sedang membetulkan atap, tiba-tiba atapnya
roboh, kemudian bapak jatuh terlempar jauh).
Dengan
adanya kejadian-kejadian—yang disangkut pautkan dengan pantangan—ini, semakin
seganlah masyarakat kampung Cikondang untuk melanggar pantangan-pantangan
tersebut. Namun perasaan segan itu sekarang sudah mulai pudar. Bukan pudar
karena berkurangnya kesakralan itu
sendiri,
melainkan pudar dikalangan orang-orang baru, mengingat orang-orang dahulu sudah
mulai berkurang. Orang baru tersebut bisa orang-orang muda, bisa juga para
pendatang yang tidak mengalami hal-hal semacam itu.
Disamping
kesakralan tersebut, Di dalam ajaran Bumi Adat juga sebenarnya tersimpan nilai
sosial yang bagus. Misalnya dipaparkan oleh Anom Djihana, “Rumah adat teh
tuntunan, kahiji tuntunan kanggo murangkalih, oge tuntunan keur didieu”(Rumah
Adat itu menjadi sebuah tuntunan, pertama tuntunan untuk anak-anak, dan
tuntunan untuk disini (kampung Cikondang)). Yang dimaksud dengan tuntunan itu
adalah bahwa di Bumi Adat diberlakukan segala nilai-nilai etik dan nilai-nilai
moral, dan seluruh
kearifan hidup yang diturunkan leluhur kampung Cikondang.
Nilai-nilai
yang utama adalah tentang sopan santun. Nilai ini antara lain di
implementasikan dengan larangan berbicara keras, buang air sembarangan, hormat
dan patuh kepada orang tua dan sesama. Selain itu, warga sangat
menjungjung tinggi gotong royong. Hal ini dapat dilihat saat Bumi Adat menerima
tamu atau melaksanakan ritual seperti acara ritual tutup tahun mapag tahun atau
menyambut 15 Muharam (Wuku Taun). “warga tanpa diundang sukarela
membantu untuk menyambut 15 Muharam nanti. Para ibu memasak nasi kuning dan
tumpeng untuk dibagikan ke warga. Alhamdulilah sampai sekarang ritual tersebut masih
rutin dilakukan, belum pernah berhenti”, kata Anom
Djuhana. Maksud di adakan ritual tersebut adalah tasyakur binikmat kepada Allah
swt. Yang telah memberikan kesehatan dan yang lain-lain[62].
B.3.2.
Makam Karuhun
Makam karuhun adalah salah satu tempat keramat
di kampung Cikondang. Makam ini adalah tempat berziarah, karena di dalamnya
terdapat beberapa makam leluhur. Makam leluhur tersebut diantaranya makam Uyut
Pameget dan Uyut Istri, Ma Empuh, Ma Akung, Ma Idil, Anom Rumya dan Ma Emen.
Mereka adalah leluhur kampung Cikondang yang dianggap mempunyai banyak jasa
terhadap kampung Cikondang. Sehingga mereka di puji dan dihormati dengan cara
diziarahi.
Makam karuhun berada di dalam hutan larangan,
sebelah timur Bumi Adat. Orang-orang yang akan berziarah biasanya berjalan dari
Bumi Adat bersama dengan kuncen Bumi Adat. Di makam karuhun harus berlaku sopan
santun dan tidak boleh bersuara keras. Selama berziarah biasanya hanya kuncen
yang berbicara, karena kuncen yang memimpin ziarah. Di makam karuhun ini juga
terdapat pantangan-pantangan sebagaimana pantangan-pantangan memasuki hutan
larangan dan pantangan ziarah (sudah dijelaskan diatas).
B.3.3
Hutan Larangan
Hutan larangan adalah sebuah hutan yang
dianggap sakral oleh masyarakat kampung Cikondang, yang letaknya berada di
belakang Bumi Adat (palih wetaneun Bumi Adat), “upami bade ka hutan
larangan kedah ka tonggoh jalan na, teu tiasa sakonyong-konyong” (kalau mau
ke hutan larangan harus melalui jalan atas, tidak bisa sembarangan) begitu kata
Bapak Ade mengatakan.
Hutan larangan tersebut tidak boleh
sembarangan orang masuk, kecuali harus ada izin dari juru kunci, itu juga ada
hari-hari tertentu yang diperbolehkan masuk ke wilayah hutan larangan yaitu
Hari Senin, Rabu, Kamis, dan Minggu.
Aturan lain bila masuk ke dalam hutan larangan yaitu sandal atau
sepatu harus dibuka, untuk perempuan sedang tidak datang bulan, dan harus
beragama Islam. Menurut sejarah dan kata orang-orang terdahulu (sesepuh
kapungkur), Hutan Larangan tersebut tempat berkumpul dan tempat musyawaroh para
wali, juga tempat bersembunyi masyarakat dijaman penjajahan Belanda[63].
Di dalam hutan Larangan terdapat makam yang dikelilingi oleh pagar
yang terbuat dari bambu yang pakunya terbuat dari tali bambu. Makam tersebut
adalah makam leluhur para juru kunci terdahulu, diantaranya makam Mak Empuh,
Mak Akung, Mak Idil, dan Anom Rumya[64].
Beberapa pantangan mengenai hutan larangan
ini. Diantaranya:
1. Tidak sembarang orang yang boleh memasuki
hutan larangan;
2. Harus bersuci terlebih dahulu, baik wanita maupun
laki-laki;
3. Wanita haid tidak boleh memasukinya;
4. Hanya yang beragama islam yang boleh
memasukinya;
5. Tidak boleh menggunakan alas kaki;
6. Ada hari-hari tertentu yang boleh dan tidak
boleh memasuki hutan larangan;
7. Jika yang memasuki hutan tersebut lebih dari
satu orang, maka jangan berpisah agar tidak tersesat;
8. Isi hutan larangan hanya boleh diambil untuk
kepentingan di Bumi Adat;
9. Hutan larangan tidak boleh di foto.
Walaupun demikian, terdapat pesan mendalam di dalam
pantangan-pantangan tersebut. Pesan itu yakni, betapa pentingnya manusia dalam
melestarikan alam. Sebuah hutan dekat pemukiman, jika dibiarkan begitu saja
maka akan rusak oleh ulah-ulah manusia yang kadang tidak bertanggungjawab.
Kerusakan tersebut yang kemudian akan menjadi musibah bagi manusia itu sendiri.
Maka untuk menghindari hal itu, pantangan-pantangan mistik diatas dapat berguna
bagi kehidupan masyarakat kampung Cikondang. Hal ini diutarakan oleh Bapak Ade “Ari
hutan larangan teh semacam percontohan, tarbiyah keur urang, ulah saban jelema
wae bebas nuar kai, nu akhirna akibatna urang kota, nu namina gunung gundul kan
musibahna (banjir) ka urang kota. Janten ku ayana hutan perlindungan teh ulah
bebas manusia menebang kayu secara tidak tanggungjawab” (Hutan larangan itu
adalah semacam contoh, tarbiyah bagi kita, bahwa jangan sembarang orang bisa
menebang pohon, yang pada akhirnya yang kena akibatnya adalah orang-orang kota
(kebanjiran). Jadi dengan adanya hutan yang dilindungi itu agar
tidak sembarang orang menebang pohon secara tidak tanggungjawab)[65].
BAB IV
ANALISIS DATA
Analisis Data Konsep Teologi Masyarakat AdatKampung Cikondang
Teologi—dalam kamus digital—adalah pengetahuan
tentang ketuhanan, yakni mengenai sifat allah, dasar kepercayaan kepada Allah
dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci.
Teologi ini—dalam pemahaman Koenjtaraningrat—termasuk
kepada sistem religi. Sehingga term teologi tidak bisa disamakan begitu saja dengan term
religi, walalupun keduanya sama-sama membahas tentang ketuhanan. Perbedaannya
yaitu, teologi lebih spesifik daripada religi. Jika religi selalu berkaitan
dengan agama yang dianut, maka teologi ada didalamnya, yakni membahas tentang
keyakinan terhadap Tuhan. Menurut Koentjaraningrat, sistem
religi terdiri atas empat unsur[66]:
Pertama,
emosi
keagamaan (religious emotion). Yaitu getaran jiwa yang mendorong manusia
melakukan tindakan-tindakan religi.
Kedua,
sistem
keyakinan. Yaitu segala konsepsi manusia tentang kekuatan supranatural seperti
dewa-dewa, roh-roh leluhur, beserta sifat-sifat dan tanda-tandanya. Konsepsi
manusia tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), bentuk-bentuk dan
sifat-sifat alam semesta (kosmologi) dan konsepsi manusia tentang hidup dan
maut, alam akhirat dan lain-lain.
Ketiga,
sistem
upacara. Sistem upacara terdiri dari: 1) tempat, 2) waktu, 3) benda-benda dan
alat-alat, 4) pelaku.
Keempat,
pelaku.
Pelaku meliputi para pengikut suatu kepercayaan, hubungan satu dengan yang
lain, hubungan dengan para pemimpin kepercayaan baik dalam ritual maupun dalam
kehidupan sehari-hari, dan aturan-aturan yang berupa kewajiban dan larangan
bagi warganya.
Keempat
unsur ini berlaku di masyarakat manapun. Termasuk di mayarakat adat kampung
Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung.
Perlu
ditekankan sebelumnya bahwa keagamaan dan keyakinan di masyarakat adat kampung
Cikondang itu berbeda. Jika Islam menjadi agama yang resmi di kampung
Cikondang, keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang adalah terhadap leluhur
(karuhun). Agama Islam di kampung Cikondang adalah agama yang turun
temurun dari leluhur (karuhun) tersebut, sehingga gagasan dan praktek
murni yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits (pedoman umat Islam) tidak
sepenuhnya murni, tetapi bercampur dengan ritual-ritual mistik. Kendati begitu,
siapapun tidak bisa memutuskan (judge) bahwa hal ini sesat atau tidak
sesuai dengan agama Islam. Hal ini merupakan fenomena nyata yang terjadi.
Siapapun harus menyadari bahwa setiap masyarakat itu unik.
Berdasarkan
hal ini, teori-teori yang ada belum tentu sesuai dengan setiap fenomena.
Seperti halnya teori-teori yang kita temukan. Teori diatas dan teori-teori yang
kelak kita kemukakan dibawah berlaku bagi keyakinan masyarakat adat kampung
Cikondang, akan tetapi tidak berlaku bagi keagamaannya, karena agama masyarakat
kampung Cikondang merupakan agama—sebut saja—modern, dan bukan agama primitif.
Dan karena itu, peneliti hanya menggunakan teori-teori tersebut untuk
menganalisis keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang—yaitu kepada
leluhur—dan bukan untuk sistem keagamaannya.
- Emosi keagamaan (religious emotional)
Emosi
keagamaan (religious emotion), pada umumnya disebabkan oleh berbagai
faktor, baik faktor lingkungan, biologis, psikologis rohaniah, unsur fungsional,
unsur asali, fitrah, ataupun karunia Tuhan[67]. Tampaknya keyakinan
masyarakat kampung adat Cikondang terhadap leluhur di dorong oleh unsur
psikologis rohaniah, yaitu keyakinan akan adanya roh-roh yang menguasai alam
sekitar yang menyebabkan ketakutan. Dengan menguasai alam sekitar, maka roh-roh
itu bisa saja sewaktu-waktu mendatangkan bencana.
Prof.
Dr. H. Ramayulis mengutip pendapatnya Nico Syukur Dister Ofm dalam bukunya
“Psikologi Agama” bahwa motivasi yang menyebabkan seseorang beragama itu, pertama,
agama sebagai sarana untuk mengatasi frustrasi, kedua, agama sebagai
sarana untuk menjaga kesusilaan, ketiga, agama sebagai sarana untuk
memuaskan intelek yang ingin tahu, keempat, agama sebagai saran untuk
mengatasi ketakutan[68]. Barangkali point keempat
inilah yang menjadi dasar dari pemujaan terhadap roh-roh leluhur di masyarakat
adat kampung Cikondang.
Menurut
Nico syukur Dister Ofm—sebagaimana dikutif oleh Ramayulis dalam “Psikologi
Agama”—bahwa manusia itu mengalami ketakutan tak berobjek[69]. Misalnya takut mati,
takut jatuh, takut celaka, takut sakit, takut tidak mendapatkan jodoh, takut
tidak lulus ujian, dan sebagainya. Ketakutan-ketakutan ini merupakan
ketakutan-ketakutan tak berobjek. Bagaimana manusia akan menghindari
ketakutan-ketakutan tersebut, sedang objeknya tidak ada. Maka satu-satunya cara
untuk menghindarinya yaitu berlindung kepada sesuatu yang berkuasa, yang
menguasai alam dan yang menguasai ketakutan-ketakutan itu. Dalam hal ini,
orang-orang beragama berlindung kepada Tuhan—sebut saja orang Muslim berlindung
kepada Allah dengan berdo’a dan sebagainya. Sedangkan orang-orang warga
masyarakat kampung Cikondang berlindung kepada roh-roh para leluhur (karuhun)—walaupun
pada akhirnya, roh-roh leluhur ini hanyalah sebagai media untuk berlindung
kepada Allah—dari ketakutan-ketakutan tersebut. Memohon perlindungan ini
dilakukan dengan cara ritual-ritual atau upacara-upacara atau berdo’a di makam.
Senada
dengan teori tersebut, M. Crawley—sebagaimana dikutip oleh Dadang Kahmad dalam
sosiologi agama—juga mengemukakan teorinya. Jika Nico Syukur menyebut
ketakutan-ketakutan itu adalah ketakutan yang tak berobjek, maka Crawley
menyebut krisis dalam hidup individu yang selanjutnya disebut dengan teori
“Masa Krisis dalam Hidup Individu”. Betapapun bahagianya seseorang, ia harus
ingat akan timbulnya krisis dalam hidupnya. Krisis tersebut bisa berupa bencana
seperti sakit dan maut. Krisis seperti ini tidak bisa dihindari walaupun
dihadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda[70]. Oleh karena itu solusi
untuk mengatasi ketakutan-ketakutan semacam itu adalah berdamai dan menjalin
hubungan baik dengan roh-roh penguasa alam sekitar, dengan melakukan
pemujaan-pemujaan.
- Sistem Keyakinan
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa sistem
keyakinan masyarakat adat kampung Cikondang adalah kepada leluhur. Masyarakat
adat kampung Cikondang meyakini bahwa roh-roh leluhur masih ada dan dapat
dimintai pertolongan. Menurut keyakinan mereka bahwa roh-roh leluhur itu
menguasai alam, seperti menguasai Bumi Adat, hutan larangan, makam, sawah,
sungai, lembur (kampung) dan lain sebagainya. Sehingga jika mereka ingin
alam lingkungan tempat tinggalnya tetap aman, dan jauh dari marabahaya, maka
mereka harus memohon kepada roh-roh leluhur. Permohonan ini bisa berbentuk
ziarah atau ritual-ritual seperti Wuku Taun, hajat lembur, hajat solokan,
mitembeyan, dan sebagainya. Keyakinan semacam ini di dalam teori aliran
ketuhanan disebut dengan animisme. Teori ini dikemukakan oleh E.B Tylor sebagai
berikut.
Animisme (berasal dari bahasa Latin yaitu anima yang
berarti roh) yaitu suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya
kekuatan yang ada di balik segala sesuatu[71]. Animisme adalah sistem kepercayaan yang mengganggap bahwa alam ini dikuasai oleh
roh-roh dan jiwa-jiwa. Menurut Tylor—sebagaimana dikutip oleh Pals dalam “Seven
Theories of Religion”:
Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang
telah memiliki budaya berfikir sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis.
Yang pertama adalah apakah yang membadakan antara tubuh yang hidup dan yang
telah mati?, kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan
manusia?. Mencermati dua persoalan ini, para “filosof liar” (savage
philosopher) mencoba menjawabnya dengan dua tahap. Pertama, dengan
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom)
sebagai bayang-bayang dan diri kedua bagi jiwa (terpisah dari tubuh). Kedua,
dengan mengkombinasikan jiwa dan roh, para “filosof liar” berhasil
mendapatkan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi[72].
Dengan demikian, masyarakat primitif kata Tylor,
jika roh itu terpisah dari tubuh, tidakkah benda-benda lain selain tubuh
manusia dapat juga dimasuki roh?. Seperti air, pohon, batu, binatang dan
sebagainya. Dari perspektif ini jelas bahwa sebagaimana roh menggerakan seorang
manusia, maka spiritpun telah menggerakan alam semesta[73].
Teori animistik ini bisa dilihat juga di dalam
agama-agama yang lebih modern. Seperti reinkarnasi dalam kebudayaan Timur, atau
keyakinan akan hari pembalasan dan keabadian jiwa di dalam kebudayaan Barat
seperti Kristen dan Islam. Hal ini dapat dipahami bahwa roh atau jiwa itu dapat
terpisah dari tubuh (materi). Animistik juga dapat dilihat dalam benda-benda
yang dianggap jimat, hal ini bukanlah pemujaan terhadap benda-benda, melainkan anima
yang ada didalamnya. Atau yang masih berkembang di masyarakat tradisional
saat ini seperti pengusiran roh-roh jahat dari orang yang sakit. Mereka
meyakini bahwa orang yang sakit tidak memerlukan pengobatan, melainkan di jampe
dan di keluarkan roh-roh yang mengganggunya.
Keyakinan ini jugalah yang dianut oleh
masyarakat adat kampung Cikondang. Bahwa roh-roh itu tetap hidup meskipun
orangnya sudah meninggal. Sehingga roh-roh itu menguasai Bumi Adat, Hutan
larangan, sungai, mata air, lembur (perkampungan), dan sekitarnya, dan
bisa saja sewaktu-waktu mendatangkan bencana. Untuk menghindari itu, mereka
melakukan permohonan berupa ritual. Seperti yang sudah kami transkrip diatas
pembicaraan-pembicaraan kepada roh-roh leluhur pada waktu ziarah. Mereka berbicara
dimakam layaknya berbicara kepada manusia, karena roh-roh itu mendengarkan
setiap keluhan atau permintaan mereka.
Jika menurut Tylor, animisme ini kemudian
menyebabkan timbulnya agama primitif, berbeda dengan agama yang dianut oleh
warga masyarakat adat kampung Cikondang. Agama yang dianut oleh mereka adalah
agama Islam. Agama Islam bukanlah agama primitif, melainkan agama wahyu yang
dibawa oleh seorang utusan Allah—Nabi Muhammad saw beserta kitab sucinya. Agama
Islam muncul jauh setelah agama primitif ada. Artinya agama Islam sudah lebih modern
daripada agama primitif. Jadi masyarakat adat Cikondang beragama Islam
sekaligus animisme.
Kendati demikian, animisme yang diyakini
masyarakat adat kampung Cikondang ini ada hubungannya dengan agama Islam itu
sendiri. Roh-roh para leluhur ini hanyalah media untuk menyampaikan setiap
permintaan kepada Allah. Pada hakikatnya yang dimintai pertolongan adalah
Allah. Namun konon, orang-orang hebat seperti wali Allah, atau orang-orang
berjasa lainnya sangat dihormati walaupun sudah meninggal. Karena jasa-jasa dan
pengaruhnya tetap hidup. Oleh karena itu makam-makam leluhur yang berjasa itu
biasa diziarahi. Dalam prosesi ziarah inilah kemudian roh-roh para leluhur
tersebut dianggap ada, mendengarkan setiap keluhan dan permintaan. Di kampung
adat Cikondang sendiri, roh-roh para leluhur ini dianggap menguasai alam
sekitar. Sehingga setiap kegiatan, kebutuhan atau keinginan masyarakat harus
mendapat izin dari roh-roh para leluhur. Sistem perizinan ini dilaksanakan
dengan cara ritual-ritual seperti yang sudah disebutkan diatas, yaitu Wuku
Taun, hajat lembur, hajat solokan, mitembeyan, dan sebagainya.
Hal inilah yang kemudian disebut dengan
istilah sinkretisme. Sinkretisme—dalam kamus digital—adalah paham baru yang
merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian,
keseimbangan, dan sebagainya. Dalam hal ini perpaduan dari agama Islam dan
keyakinan kepada roh-roh leluhur.
- Sistem Upacara
Berdasarkan keyakinan masyarakat adat kampung
Cikondang seperti sudah dijelaskan diatas, maka eksistensi roh-roh para leluhur
ini dirasakan efek, manfaat, atau pengaruhnya, ketika batin sudah benar-benar
meyakininya. Sehingga dengan segala rasa pengabdian, segala perbuatan dan
ritual keagamaan atau ritual mistik lainnya pun dilakukan dengan khidmat. Teori
yang mendukung hal ini adalah teori Fredriek Schleimacher.
Menurut Fredriek Schleimacher, bahwa yang menjadi sumber
kejiwaagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend).
Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini, manusia merasakan dirinya
lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan
suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan
inilah timbul konsep tentang Tuhan. Manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan
alam yang selalu dialaminya, oleh karena itu mereka menggantungkan harapannya
kepada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini
timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang dapat
melindungi mereka. Sehingga rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat
dibuktikan dalam realita upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama
kepada Tuhannya[74].
Menurut
Koentjaraningrat (1984: 147) sistem upacara (ritual) merupakan wujud kelakuan (behavioral
manifestation) dari religi[75]. Sistem upacara keagamaan
secara khusus mengandung empat aspek yaitu: (a) tempat, (b) waktu, (c)
benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang memimpin dan melakukan
upacara[76].
Aspek
pertama yakni tempat, ritual di kampung adat Cikondang biasanya dilakukan di
Bumi Adat untuk ritual Wuku Taun, dan ritual lainnya; di hulu sungai
untuk ritual Hajat Solokan dan Hajat air bersih; di tengah kampung untuk
ritual Hajat Lembur; di sawah yang akan ditanami dan dipanen untuk
ritual Mitembeyan; di makam keramat untuk ritual ziarah. Aspek kedua
yakni waktu, kebanyakan dari ritual di kampung adat Cikondang dilakukan satu
kali dalam setahun. Seperti Wuku Taun dilaksanakan pada setiap tanggal
15 Muharram; Hajat solokan dilaksanakan setiap…; Hajat Lembur dilaksanakan
setiap tanggal…; Mitembeyan dilaksanakan tergantung jadwal menanam dan
memanen; sedangkan ziarah dilaksanakan pada setiap malam senin dan malam kamis,
atau siang hari di hari apapun. Sedangkan benda-benda dan alat-alat upacara
adalah tumpeng, korban ayam, korban kambing, menyan, rujak suro, dan lain-lain.
Orang yang memimpin ritual adalah kuncen, dan yang mengikuti ritual adalah
semua warga masyarakat kampung Cikondang, para tamu, baik yang sengaja di
undang maupun tidak.
Masih
menurut Koentjaraningrat, upacara-upacara itu juga mempunyai beberapa unsure
seperti (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, makanan yang
telah disucikan dengan doa, (e) menari tarian suci, (f) menyanyi nyanyian suci,
(g) berprosesi atau berpawai, (h) memainkan seni drama suci, (i) berpuasa, (j)
intolsikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius sampai kerasukan
atau mabuk, (k) bertapa, (l) bersemedi[77].
Diantara
unsur-unsur tersebut, masih menurut Koentjaraningrat ada yang dianggap sangat
penting dalam satu agama, tetapi tidak dikenal di dalam agama lain, demikian
juga sebaliknya. Selain itu satu ritual keagamaan dapat mengandung beberapa
unsur tersebut, tetapi tidak semuanya[78]. Dengan berdasarkan teori
ini, ritual khas di masyarakat adat kampung Cikondang misalnya Wuku Taun dapat
dianalisis sebagai berikut.
Dalam
upacara Wuku Taun mula-mula sejumlah warga masyarakat membuat sesaji,
yaitu membuat nasi tumpeng yang dinamakan tumpeng lulugu dan dengan
mengorbankan sejumlah ekor ayam yang terdiri dari ayam hitam, ayam putih, dan
ayam abu (hal ini mengandung arti, telah dijelaskan diatas), rujak suro dan
menyiapkan menyan. Dalam proses pembuatan sesaji ini, para pembuatnya yang
disebut dengan ibu-ibu lulugu harus berpuasa. Berpuasa disini berarti
tidak mencicipi makanan yang sedang dibuat sampai selesai. Jika selesai membuat
makanannya, selesai juga berpuasanya. Ini hanya berlaku bagi para lulugu selama
membuat makanan saja. Kemudian sesaji tersebut di doakan (hamin) oleh
kuncen dan para laki-laki dengan cara duduk melingkari sesaji-sesaji tersebut.
Setelah selesai didoakan, kemudian makanan yang telah disucikan dengan do’a
yakni tumpeng dan ayam itu di bagikan kepada semua (warga dan tamu) yang hadir
pada waktu upacara dan dimakan bersama ditempat, yang lainnya dibagikan juga
kepada warga kampung Cikondang yang tidak hadir. Setelah upacara selesai,
kadang-kadang ada kesenian khas kampung Cikondang yang ditampilkan, yaitu
kesenian Beluk . Tetapi kesenian ini tidak termasuk kepada ritual, ini
hanya hiburan saja bagi warga dan tamu.
Mengenai
pengorbanan, seperti pengorbanan ayam hitam, ayam putih, dan ayam abu di dalam
ritual Wuku Taun, yang kemudian di makan bersama dengan nasi tumpeng
yang telah di do’akan, mempunyai aspek profanitas dan sakralitas. Di dalam The Elementary Forms of The Religious Life,
Durkheim mengatakan, karena makanan selalu membentuk substansi tubuh, maka
makanan yang dimakan secara bersama-sama akan menimbulkan dampak yang sama
dalam diri setiap orang yang memakannya. Menurut Smith, tujuan dari daging
kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan Tuhannya dalam satu ikatan
darah. Sehingga arti dari pengurbanan yang utama adalah aktus penguatan komuni.
Sementara itu, sakralitasnya—masih menurut Durkheim—terdapat dalam seluruh
rangkaian persiapan dalam upacara korban ini, yang mentransformasikan binatang
yang dikorbankan menjadi makhluk yang sakral, kesakralan yang pada gilirannya
akan diperoleh oleh para penganut yang memakannya[79].
Selain
itu, menurut Prawirorahardjono (1986: 67) bahwa setiap ritual mempunyai ciri-ciri
yang sama. Yaitu, 1) hal-hal yang dilakukan sebelum melakukan penghayatan
ritual; 2) pakaian ritual; 3) tempat ritual; 4) perlengkapan ritual; 5) sikap;
6) arah penghayatan; 7) upacara do’a ritual[80].
Dengan
teori tersebut, ritual khas masyarakat adat kampung Cikondang—yakni Wuku
Taun— juga dapat dianalisis sebagai berikut.
1) Hal-hal
yang dilakukan sebelum ritual: bersuci.
2) Pakaian
ritual: baju putih, celana hitam, dan ikat kepala (bendo) untuk kuncen dan
orang-orang tertentu, untuk tamu bebas.
3) Tempat
ritual: Bumi Adat
4) Perlengkapan
ritual: tumpeng dkk, rujak suro, kemenyan.
5) Sikap:
duduk bersila, menunduk, tidak boleh mengobrol, mengikuti bacaan-bacaan yang
dipimpin oleh kuncen, tangan menengadah saat berdo’a, membaca ayat-ayat
alqur’an.
6) Arah
penghayatan: bersyukur kepada Allah swt dan kepada leluhur bahwa telah
diberikan keselamatan dan keberhasilan selama satu tahun, dan memohon agar
diberikan keselamatan dan keberhasilan juga setahun kedepan.
7) Do’a
ritual: ayat-ayat al-qur’an seperti al-fatihah, al-ikhlas, al-falaq, an-nas
dll, do’a, dan lain-lain.
Menurut
Emile Durkheim ritual (pemujaan) itu ada dua macam, yakni ritual negatif dan
ritual positif. Ritual negatif atau Durkheim menyebutnya “pemujaan negatif”
adalah ritual-ritual yang hanya menentukan pantangan dan larangan[81]. Bentuk ritual ini tidak
menetapkan perbuatan-perbuatan yang harus dilaksanakan, melainkan sejumlah
larangan atau tabu yang tidak boleh dilakukan. Durkheim mengatakan bahwa
pemujaan negatif ini baru membuka pintu gerbang kearah kehidupan religius.
Karena pemujaan ini memerintahkan manusia untuk menjauhi dunia profan, itu
bertujuan agar lebih dekat dengan dunia sakral. Sedangkan pemujaan positif
adalah sejumlah perbuatan yang diatur dan diorganisir oleh seperangkat praktek-praktek
ritual[82]. Artinya pemujaan positif
ini mengandaikan sejumlah aturan yang harus dipraktekkan.
Jika
dianalisis berdasarkan teori ini, maka pantangan-pantangan yang terdapat di
kampung Cikondang seperti pantangan di Bumi Adat, pantangan di hutan larangan,
pantangan ziarah dan lain sebagainya merupakan sebuah ritual, yang
dinamakan—oleh Durkheim—“pemujaan negatif”. Sementara ritual-ritual yang harus
dipraktekkan dan mengandaikan sejumlah aturan-aturan yang harus ditaati,
seperti Wuku Taun, Hajat Solokan, Hajat Lembur, Hajat Talang, Mitembeyan, dan
lain sebagainya disebut dengan “pemujaan positif”.
Ritual-ritual ini, selain bersifat sakral dan transenden
juga bersifat profan dan imanen. Elizabeth
K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa
memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas
dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya[83]. Nilai-nilai yang terkandung di Bumi Adat dalam hal ini
merupakan landasan bagi nilai-nilai sosial di masyarakat kampung Cikondang,
dimana nilai-nilai itu penting sekali untuk mempertahankan masyarakat itu
sendiri di generasi yang akan datang. Dengan mempedomani sistem
nilai, maka kesusilaan akan terjaga.
Jika
menurut Nottingham—berkaitan dengan pendidikan agama Islam—nilai-nilai itu
diajarkan melalui sistem pendidikan yang dinamakan transfer of knowledge,
transformation of knowledge, dan internalisation of values, maka
nilai-nilai adat di kampung adat Cikondang dipertahankan dengan cara
dipraktekkan oleh warga masyarakat kampung Cikondang yang sudah lebih dulu—para
tetua (sesepuh)—kemudian diajarkan dan ditanamkan kepada anak-anak
sebagai generasi penerus kampung adat Cikondang.
St.
Hanafi Anshori juga mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu institusi
yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan
sosial[84]. Maka di kampung adat
Cikondang, Bumi Adatlah yang menjadi institusi tersebut. Bumi Adat bukan
sekedar tempat sebagai ritual-ritual mistik saja, akan tetapi mengandung tujuan
moral dan sosial pula. Motivasi keyakinan yang mereka buktikan melalui
ritual-ritual, menjauhi pantangan-pantangan dan menaati segala aturan yang ada
di Bumi Adat itu tidak lain merupakan keberadaan Bumi Adat itu sebagai sarana
untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib di dalam masyarakat.
Sama
halnya dengan agama yang mempunyai fungsi dalam masyarakat, menurut Prof. Dr.
H. Ramayulis[85].
Keyakinan masyarakat adat Cikondang kepada leluhur (karuhun) dan Bumi
Adat juga mempunyai fungsi dalam masyarakat. Namun perbedaannya ialah fungsi
agama berlaku bagi masyarakat luas, sedang keyakinan kepada leluhur dan Bumi
Adat berlaku bagi satu masyarakat tertentu, yakni masyarakat adat kampung
Cikondang.
Pertama,
berfungsi
sebagai penyelamat. Setiap manusia selalu menginginkan keselamatan. Jika agama
menawarkan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka keyakinan terhadap leluhur
dan segala ritual yang dilakukan di kampung adat Cikondang adalah untuk
keselamatan kehidupan warga masyarakat di kampung sekitarnya. Mereka meyakini
bahwa leluhur yang dipujanya dengan berbagai ritual dapat mendatangkan
kesselamatan dan menjauhkan dari berbagai marabahaya. Contohnya adalah ritual Hajat
Lembur. Ritual ini mempunyai tujuan untuk keselamatan kampung (lembur)
Cikondang itu sendiri dari marabahaya. Dengan segala sesajen dan kelengkapan
ritual yang disediakan warga, dan do’a-do’a yang di pimpin oleh kuncen, itu
semua ditujukan untuk keselamatan warga masyarakat kampung adat Cikondang.
Kedua,
berfungsi
sebagai pemupuk rasa solidaritas. Setiap komunitas manusia yang mempunyai
keyakinan yang sama, secara psikologis akan memliki rasa satu kesatuan dan
solidaritas. Hal ini dirasakan baik secara individu maupun kelompok. Di kampung
adat Cikondang, solidaritas ini sangat menonjol antar warga masyrakatnya.
Gotong royong dalam berbagai aktivitas di kampung Cikondang sudah menjadi
pemandangan yang biasa. Terlebih aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan
ritual dan Bumi Adat. Oleh karena ritual-ritual tersebut menyangkut satu
identitas kampung, maka hampir semua—karena ada sebagian orang yang tidak—warga
masyarakatnya dengan sukarela membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan
tersebut. Solidaritas ini akan terus terpupuk dengan adanya kegiatan
ritual-ritual yang dilakukan secara kontinyu. Selain dalam kegiatan-kegiatan
ritual, solidaritas ini juga terlihat dalam aktivitas antar warga masyarakat
sendiri, seperti dalam bercocok tanam atau dalam kegiatan lainnya. Hal ini juga
terjadi di warga masyarakat pedesaan lainnya, karena pada dasarnya solidaitas
seperti ini memang terjadi di hampir setiap masyarakat pedesaan.
Ketiga,
berfungsi
sebagai kontrol sosial (Social Control). Keyakinan kepada leluhur dan
Bumi Adat menjadi semacam kontrol sosial karena di dalamnya terdapat
norma-norma dalam kehidupan. Pantangan-pantangan dan segala aturan yang di
terapkan di Bumi Adat menjadi semacam tuntunan dan pedoman dalam bertingkah
laku warga masyarakat kampung adat Cikondang. Seperti dilarang bersuara keras,
Jangan kencing sembarangan, Jangan memasuki hutan larangan sembarangan, jangan
berselonjor sembarangan, jangan mengambil kembali makanan yang sudah jatuh dan
sejumlah aturan lainnya. Semua itu tidak lain daripada norma-norma etis yang
harus dilakukan, yang secara disadari atau tidak, hal ini menjadi kontrol
sosial bagi warganya.
- Pelaku
Menurut
Koenjtaraningrat, Pelaku ini meliputi umat yang menganut keyakinan suatu agama
atau keyakinan, hubungannya satu dengan yang lain, hubungannya dengan para
pemimpin agama, baik dalam berlangsungnya upacara maupun dalam kehidupan
sehari-hari, selain itu juga meliputi organisasi dari para umat, kewajiban
serta hak-hak para warganya[86].
Perlu
di perhatikan bahwa ritual seperti ziarah adalah ritual yang terdapat juga di
daerah lain selain kampung Cikondang. Karenanya ritual ziarah di makam keramat
kampung Cikondang tidak hanya diikuti oleh warga masyarakat kampung Cikondang
saja, melainkan oleh warga masyarakat daerah lain juga. Sehingga yang mempunyai
keyakianan kepada leluhur bukan hanya masyarakat kampung Cikondang saja,
melainkan juga masyarakat tradisional lainnya.
Hubungannya
antara satu orang dengan orang lain sebenarnya tidak ada hubungan khusus,
melainkan hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Mereka saling merasakan bahwa
dirinya merupakan satu kesatuan sebagai satu warga masyarakat dengan keyakinan
yang sama. Oleh karena itu mereka mempunyai rasa solidaritas yang tinggi.
Adapun hubungannya dengan pemimpin agama—yang dalam hal ini adalah
kuncen—adalah warga biasa. Karena posisi kuncen disini bukanlah penguasa yang
menguasai kampung Cikondang, melainkan seseorang yang di tua kan (sesepuh)
yang mempunyai kewenangan untuk mengelola Bumi Adat dan memimpin ritual. Baik
pada saat ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, kuncen menjadi orang yang
selalu dihormati oleh warga. Karena selain kedudukannya yang lebih tinggi
daripada warga lainnya, juga karena kebijaksanaannya dan kebaikannya di
masyarakat.
Di
masyarakat adat kampung Cikondang tidak ada organisasi yang meliputi para
penganut tersebut. Karena selain menempati satu daerah yang sama, mereka
bukanlah masyarakat modern, melainkan masyarakat tradisional yang tatanan
masyarakatnya masih sederhana dan apa adanya. Adapun pembagian tugas di
dalamnya—seperti kuncen, pembantu kuncen, ibu-ibu lulugu, pengelola sawah,
tukang bersih-bersih dan lain-lain—merupakan sebuah bentuk khidmat kepada Bumi
Adat.
BAB
V
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari
penelitian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa konsep teologi masyarakat
adat kampung Cikondang adalah keyakinan terhadap leluhur (karuhun),
disamping menganut agama Islam. Karuhun adalah roh-roh leluhur yang
telah meninggal yang dianggap mempunyai jasa sewaktu masih hidup, sehingga
tetap dihormati walaupun sudah meninggal. Roh-roh ini dianggap menguasai alam
sekitar sehingga warga masyarakat kampung Cikondang harus menjalin hubungan
baik dengan karuhun tersebut agar mendapat kebaikan dengan melalui
ziarah, ritual-ritual dan pantangan-pantangan. Karuhun ini dipanggil
dengan sebutan Uyut. Dia adalah keturunan wali dari Cirebon yang
menyebarkan agama Islam di kampung Cikondang dan sekitarnya. Selain uyut, karuhun
ini juga adalah roh-roh para kuncen kampung Cikondang sebelumnya, yakni Ma
Empuh, Ma Akung, Ma Idil, dan Anom Rumya. Karuhun ini,
walaupun diyakini adanya, akan tetapi keberadaannya hanya dianggap media untuk
menyampaikan setiap permohonan kepada Allah swt. Karena karuhun ini dahulunya
adalah orang-orang yang mulia dan dekat dengan Allah, sehingga setiap
permintaan dan permohonan melaluinya akan cepat terkabul.
Tentu
saja keyakinan ini memberikan pengaruh terhadap praktik hidup masyarakat adat
kampung Cikondang. Dengan keyakinan bahwa roh-roh itu menguasai alam sekitar
seperti Bumi Adat, Hutan Larangan, Makam keramat, Kampung Cikondang (Lembur)
dan sekitarnya, maka manusia harus menjalin hubungan baik dengan roh-roh
tersebut, agar mendapat kebaikan dan terhindar dari segala marabahaya. Praktik
ini berupa ritual-ritual dan pantangan-pantangan. Ritual yang ada di kampung
adat Cikondang diantaranya, Wuku Taun, Hajat Solokan, Hajat Lembur, Mitembeyan,
dan lain-lain. Sedangkan pantangan-pantangan diantaranya, tidak boleh
bersuara keras; tidak boleh memasuki Bumi Adat, hutan larangan dan berziarah
bagi non-Muslim dan wanita yang sedang haid; tidak boleh memasuki Bumi Adat,
Hutan larangan dan berziarah di hari-hari tertentu; dan sejumlah
pantangan-pantangan lainnya.
- Saran
Masyarakat
tradisional seperti kampung adat Cikondang ini merupakan masyarakat adat yang
sudah jarang ditemukan. Kalaupun ada, masyarakat tradisional seperti ini kerap
kali dipandang sebelah mata. Mengingat banyak kelebihan dan sisi positif dari
masyarakat adat semacam ini, maka melestarikannya merupakan hal yang mesti
dilakukan. Untuk melestarikan sekaligus memperkenalkannya, penelitian haruslah
meliputi semua aspek, agar sebuah masyarakat tersebut dapat dipahami secara
komprehensif.
Sementara
itu, penelitian yang kami lakukan ini adalah penelitian tentang konsep teologi
masyarakat adat kampung Cikondang. Dengan demikian aspek yang diambil hanyalah
aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep teologi. Konsep teologi ini tentu
tidaklah cukup untuk menjelaskan sebuah masyarakat adat kampung Cikondang.
Masih banyak aspek yang mesti ditinjau seperti aspek sejarah kemunculannya,
kebudayaan, etika, kosmologi, bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, kesenian dan
aspek-aspek lainnya.
Oleh
karena itu untuk melestarikan, menginventarisasi, mendokumentasi bahkan
memperkenalkan sebuah masyarakat adat kampung Cikondang, penelitian haruslah
meliputi aspek-aspek diatas. Sehingga penelitian yang kami lakukan ini
memerlukan pengembangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Purnama,
Yuzar
(2000).
Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional.
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2002).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugiyono
(2014).
Metode Penelitian Kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.
Koentjaraningrat
(2009).
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pals,
daniel L
(2012).
Seven Theories of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD.
Kahmad,
Dadang
(2009).
Sosiologi Agama. Bandung: Rosda.
Ramayulis
(2013).
Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Durkheim, Emile
(2011).
The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta: IRCiSoD.
[5]
http://visiuniversal.blogspot.com/2015/01/pengertian-dan-ciri-ciri-masyarakat.html&ei.
[8] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 1177.
[9] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta. Hlm., 294.
[10] Ahyadi, Abdul A. (1995). Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. Hlm 176
[11] Ibid. Hlm. 105.
[12] Ibid. Hlm. 105.
[18] Purnama, Y.
(1999/2000). Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
[19]
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi
Mahasatya. Hlm. 296
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22][22] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta:
ircisod. Hlm. 486
[23]
Teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/budaya-religi-dan-ritual-antro/. Di
ambil pukul 09.00.
[29]
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi
Mahasatya. Hlm. 297
[30] Djuhana, Dokumen Sejarah Rumah Adat Kampung Cikondang Desa Lamajang
Kabupaten Bandung.
[31] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan
Nilai Budaya (Bandung, Tim
Peneliti Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Kebudayaan: 1999), 8.
[33] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan
Nilai Budaya (Bandung, Tim
Peneliti Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Kebudayaan: 1999), 8.
[39] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan
Nilai Budaya (Bandung,
Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan:
1999), 12.
[40] Wawancara dengan Anom Djuhana, tanggal 30 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[41] Hasil wawancara dengan Narasumber (Anom Djuhana), tanggal
30 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[42] Hasil wawancara dengan Narasumber (Abah Ruhiyat), tanggal 4 November 2015 jam 19.30
WIB di rumahnya, Kampung Adat Cikondang.
[44] Hasil wawancara dengan Narasumber (bapak Ade), tanggal 4 November 2015 jam 08.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[45] Yuzar, P. Seleh Taun Mapag Taun, Tinjauan
Nilai Budaya (Bandung,
Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kebudayaan:
1999), 85
[46] seperti dicontohkan oleh Abah Ruhiyat, jika leluhur menggunakan kata kula,
sementara orang zaman sekarang kadang-kadang menggunakan kata dewek atau
aing. Hasil wawancara dengan Narasumber (Abah Ruhiyat), tanggal 4 November 2015 jam 19.30
WIB di rumahnya, Kampung Adat Cikondang.
[47] Wawancara
dengan ibu-ibu lulugu, yang sedang memasak di Bumi Adat, tanggal 30 oktober
2015 pukul 11.00, di Bumi Adat.
[48] Hasil wawancara dengan Narasumber (bapak Ade), tanggal 4 November 2015 jam 08.00 WIB di Bumi Adat, Kampung Adat Cikondang.
[49] Obrolan di
Bumi Adat
[51] Hasil wawancara dengan Abah Ruhiyat (pembantu kuncen), tanggal 4 November 2015 jam 17.00 WIB di rumahnya, Kampung Cikondang.
[55] Hasil wawancara dengan Anom Djuhana (kuncen), tanggal 4 November 2015 jam 16.39 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang.
[58] Hasil wawancara dengan Anom Djuhana (kuncen), tanggal 28 Oktober 2015 di Bumi Adat, Kampung Cikondang
[59] Wawancara dengan bapak Ade (Keluarga
keturunan kuncen) pada tanggal 5 November 2015 jam 08.30 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang
[65] Wawancara dengan bapak Ade (Keluarga
keturunan kuncen) pada tanggal 5 November 2015 jam 08.30 WIB di Bumi Adat, Kampung Cikondang.
[66] Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta. Hlm., 294.
[67] Ahyadi, Abdul A. (1995). Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. Hlm 176
[68] Ibid. Hlm. 105.
[69] Ibid. Hlm. 105.
[75] Purnama, Y.
(1999/2000). Seleh Taun Mapag Taun; Tinjauan Nilai Budaya. Bandung:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
[76]
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi
Mahasatya. Hlm. 296
[77] Ibid.
[78] Ibid.
[79][79] Durkheim, E. (2011). The Elementary Forms of The Religious Life. Jogjakarta:
ircisod. Hlm. 486
[80]
Teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/budaya-religi-dan-ritual-antro/. Di
ambil pukul 09.00.
[86]
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi
Mahasatya. Hlm. 297
Tidak ada komentar:
Posting Komentar