Translate

Jumat, 07 Maret 2014

ARTIKEL



KEDEWASAAN BERAGAMA
Oleh: Nengsih komalasari, Mahasiswi Aqidah Filsafat
Kehidupan beragama bagi manusia membawa dampak yang signifikan. Baik dampak positif, maupun dampak negatif. Sangat banyak sekali dampak positif dari kehidupan beragama, diantaranya: dengan hidup beragama, manusia bisa berjalan diatas jalan yag lurus, meskipun agama di dunia ini banyak, tetapi masing-masing agama itu mempunyai jalan tersendiri untuk menyelamatkan umatnya. Dengan hidup beragama, manusia bisa saling mengasihi, saling menyayangi, saling membantu, saling menghargai satu sama lain.
Tetapi disamping itu, tidak kalah banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari kehidupan beragama. Manusia bisa perang, saling membunuh, saling menghancurkan tempat-tempat tertentu, atas nama agama. Mereka mengklaim kelompoknya benar, di luar kelompoknya tidak benar. Itu terjadi sejak dulu...hingga sekarang. Hal itu bisa terjadi akibat perbedaan pendapat, perbedaan paham, perbedaan madzhab. Dan yang paling penting mereka tidak mengetahui bagaimana bertoleransi antar sesama manusia. Ajaran tentang toleransi hanya didalam dunia teori saja, sementara tidak teraplikasi di dalam kehidupan, maka ketika menemukan suatu keragaman budaya dan agama, mereka cenderung akan menyalahkan.
Tetapi di Indonesia, banyak juga fakta yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kultur yang bervariatif, tetapi tetap menjaga kerukunan. Faktanya terlihat di beberapa tempat tertentu, misalnya Bali. Di Bali ada beberapa tempat ibadah macam-macam agama yang dibangun secara berdekatan. Disana tetap rukun, saling menghargai, dan tidak mengganggu satu sama lain. Kenapa hal itu bisa terjadi? Hipotesis saya pertama, adalah karena Bali adalah tempat wisata yang dikunjungi banyak orang, bisa dikatakan orang dari seluruh penjuru dunia, berkunjung ke tempat itu. Secara sadar, kita mengetahui bahwa, pengunjung berlatar belakang berbeda, sangat variatif. Dari mulai agama yang berbeda-beda, budaya yang berbeda-beda, bahasa, warna kulit, dan kebutuhan spiritual yang berbeda pula. Mereka otomatis membutuhkan tempat ibadah. Sehingga di bangunlah tempat-tempat ibadah yang berlainan agama, baik itu masjid, gereja, tempat ibadah hindu, budha dan sebagainya. Dengan tanpa panjang lebar dan basa basi mereka langsung saja beribadah di tempat yang sudah di sediakan.  Hipotesis kedua, pengunjung bukanlah penduduk asli, sehingga mereka tidak berhak untuk melakukan pelanggaran, keributan dan semacamnya di daerah orang lain. Karena itu mereka aman-aman saja walaupun berbeda agama.
Tetapi di luar sana, di tempat-tempat lain. Seperti jawa yang mayoritas islam kejawen, Batak yang mayoritas protestan, Dayak yang mayoritas Hindu, Sunda yang mayoritas islam dan Papua yang mayoritas katolik. Mereka hidup di dunia homogen, terbiasa dengan kehidupan yang sama, ketika mereka keluar, bertemu dengan kelompok yang berlainan agama, mereka akan cenderung lebih agresif.
Maka untuk menghindari keagresifan itu, di butuhkan yang pertama: pengetahuan, sebagian oran menyebutnya akal budi, dengan pengetahuan kita diajarkan, toleransi, diajarkan, bagaimana variasinya keberagamaan di dunia, bagaimana menghargai sesama manusia, memaklumi manusia yang bukan dari kelompo kita dll. Karena kita akan merasa aneh ketika bertemu dengan orang yang berbeda kebudayaan dengan kita.
Lebih dari itu, untuk menjungjung tinggi kemanusiaan di dunia, kita harus terjun langsung ke daerah yang heterogen, kita harus mengenali mereka yang berlainan kultur dan agama dengan kita,  Di sana kita akan merasakan bagaimana bertorelansi seesama manusia.. Sehingga pengetahuan bukan hanya di dunia teori saja, tetapi teraplikasi di dalam kehidupan, itu semua akan lebih berarti bagi hidup manusia. Dan dengan mengenali kultur yang berbeda-beda, kita sebagai warga negara Indonesia akan mengetahui, betapa tujuan kita sama, yakni sama-sama memajukan Indonesia dan berjuang untuk Indonesia. WALLOHU A'LAM

Sabtu, 11 Januari 2014

GUNAKAN POTENSI AKAL



wallohu a’lam” satu kata yang tidak asing bagi seorang umat muslim. Kata ini biasa di gunakan ketika di akhir diskusi keislaman, atau di akhir jawaban-jawaban, opini-opini seseorang. Kata yang berarti “dan hanya Allah yang lebih mengetahui”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia adalah lemah, pengetahuan manusia adalah terbatas, manusia tak luput dari salah dan lupa. Sejauh apapun ilmu seorang manusia, tidak akan menembus ilmu Tuhan yang Mahapintar dan Maha Mengetahui, Mahacerdas, Maha Menguasai dan Maha segalanya. Itulah bukti kerendahan manusia di hadapan Tuhan.
Tetapi bagi sebagian orang, kata “wallohu a’lam” itu dijadikan perlindungan atas ketidaktahuannya. Secara tidak langsung, kata tersebut membunuh karakter dirinya untuk berfikir, karena dengan mengucapkan kata tersebut menurutnya sudah cukup, tanpa harus mencari tahu dan menggali ilmu pengetahuan. Sehingga kata tersebut dijadikan andalan untuk hal-hal yang tidak diketahuinya. Padahal Allah sendiri menyuruh manusia untuk berfikir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa manusia harus berfikir.... لَأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ  ...tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”(ruum [30]: 21), ...  لَأَيَتٍ لِّلْعَلَمِيْنَ  “...tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (ruum [30]: 22), ...لَأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ  “...tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya”(ruum [30]: 24)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang memancing manusia untuk berfikir. Dari ayat-ayat tersebut saja sebenarnya, kita mengetahui bahwa islam itu tidak hanya di imani saja melainkan harus dipikirkan. Artinya memikirkan ciptaan Tuhan, segala sesuatu yang diluar Tuhan itu boleh dipikirkan.
Banyak bukti-bukti empiris dari para ilmuwan Barat misalnya yang penemuannya itu sejalan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Mereka menggunakan otaknya dan mengembangkan teknologi yang super canggih sehingga dengan penemuan-penemuan mereka itu mereka bisa percaya dengan Al-Qur’an. Bahkan ada hal yang begitu menggelitik bahwa ada ilmuwan yang tidak percaya adanya Tuhan namun justru dia malah menemukan Tuhan dengan penelitian-penelitiannya. Sementara kita sebagai umat muslim, tidak mau berfikir dan mengembangkan potensi akal kita. Dengan mengucapkan “hanya Allah yang lebih mengetahui” seolah-olah kita tidak perlu untuk tahu. ungkapan “hanya allah yang mengetahui, manusia tidak akan pernah bisa menembus pengetahuan dan ilmu Tuhan” bagi seorang ilmuwan adalah wajar, tetapi bagi kita seorang yang tidak tahu apa-apa itu tidaklah wajar.
Kita bangga terhadap Al-Qur’an bahwa apa yang para ilmuwan Barat temukan itu sudah ada loh di dalam kitabnya umat muslim. Umat muslim seolah-olah sombong dan sudah tahu semuanya dari Al-Qur’an. Padahal kebanyakan dari kita hanya sebatas tahu saja tidak pernah mendapatkan bukti-buktinya, (hanya sedikit muslim saja yang memang mereka memikirkan ciptaan Tuhan), dan yang memperparah lagi di balik itu ternyata kita justru menunggu para ilmuwan Barat itu untuk menemukan penemuan-penemuan barunya yang lebih hebat lagi.
Penulis tersentak, ketika membaca sebuah artikel di sebuah blog. Isinya yaitu perdebatan yang memojokkan orang-orang theis (berTuhan). Walaupun theis itu banyak, dan bukan hanya islam, tetapi kita sebagai umat islam, tentunya kita umat theis.
Ada yang berkata bahwa orang-orang theis itu bodoh, tolol dan bego. Orang-orang theis menjadikan Tuhannya sebagai tong sampah atas ketidaktahuannya. Mereka membuang ketidaktahuannya kepada Tuhan mereka.
Mendengar hal tersebut tentunya orang-orang theis tidak terima. Kita marah, kita benci, kita mengutuk orang-orang yang berkata tersebut. Padahal di balik itu justru kita sering tidak menyadari dengan kenyataan kita. Penulis sudah paparkan diatas bahwa kita harus berfikir, kita tidak mau diinjak-injak, kita tidak mau dihina, maka dari itu pertama cobalah kita renungkan diri kita sendiri. Lalu kita pikirkan alam semesta, karena hanya ada dua hal, yaitu Tuhan dan alam semesta. Maka ketika kita memikirkan alam semesta, itu sudah terlepas dari memikirkan Dzat Tuhan.
Terakhir, bukannya penulis melarang untuk berkata wallohu a’lam tetapi mengingatkan kepada semuanya termasuk penulis sendiri, janganlah ketika kita tidak tahu dan menyatakan bahwa hanya Allah yang Mahatahu lantas kita tidak mencari tahu.