judul
buku : Ternyata Adam Dilahirkan
penulis : Agus Mustofa
penerbit : Padma Press, Surabaya
cetakan : pertama, 2007
tebal : 255 halaman
harga : Rp 60.000
peresensi : Nengsih Komalasari
ketika mendengar atau membaca judul
buku ini, saya yakin pembaca bertanya-tanya mengenai siapa ibunya ?, siapa
orang tuanya ?, dimana dilahirkannya ? dan seputar itu.
kisah
Adam dan hawa sudah sedemikian melegenda. Sehingga hampir semua kita menerima
begitu saja. Meskipun banyak diantara cerita itu yang tidak masuk akal. Ya,
legenda memang tidak harus masuk akal, cukup kita terima saja.
Di antara yang sering kita dengar
adalah bahwa Adam diciptakan Tuhan dari tanah liat yang dibentuk seperti
boneka. Kemudian di tiupkan kepadanya ruh, sambil diucapkan kun fayakun. Maka
jadilah Adam manusia dewasa yang hidup seketika itu juga. Selanjutnya Adam
ditempatkan di dalam surga, ia hidup sendirian di dalam taman dan istana yang
indah. Tapi ia merasa kesepian karena tidak ada kawannya. Maka Tuhan pun
menjadikan calon istrinya, Hawa. Caranya, Tuhan mengambil salah satu tulang
rusuk Adam. Kepada tulang rusuk itu Tuhan mengucapkan kata yang sama kun maka
jadilah Hawa manusia dewasa yang hidup.
Sejak 15 abad yang lalu Al-Qur’an
telah menginformasikan bahwa manusia mengalami proses penciptaan bertahap.
Mulai dari tanah sampai menjadi bayi yang dilahirkan. Kini Agus Mustofa
menyajikannya dalam buku yang spektakuler ini.
Bertolak pada QS. Al-Baqarah [2]: 30
dan QS. Al-a’raf [7]: 11
“sesungguhnya
Kami telah menciptakan kamu sekalian, lalu kami bentuk tubuh kalian, kemudian
Kami katakan pada malaikat: “bersujudlah kamu kepada Adam” maka merekapun
bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud .” (QS.
Al-A’raf [7]: 11)
“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi .”
mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui .” (Al-Baqarah [2]:
30).
Pada
QS. Al-A’raf Allah mengatakan bahwa kami telah menciptakan kamu sekalian
lalu Kami bentuk tubuh kalian –karena dhomir kum pada kata kholaqnakum dan
showarnakum menunjukkan jamak—artinya waktu itu Allah sudah menciptakan
banyak manusia di bumi. Baru kemudian memerintahkan untuk bersujud kepada Adam.
Namun sayangnya dalam kitab terjemahan bahasa Indonesia kata kum itu
ditafsiri sebagai Adam. Di sebelah kata ‘kamu’ diberi penjelasan dengan kata
dalam kurung (Adam). Padahal kita tahu bahwa kum adalah bermakna
jamak—kalian semua.
Kemudian
kita lihat ayat berikutnya QS. Al-Baqarah [2]: 30. Ayat ini sering dipakai oleh
sebagian besar kita untuk menjelaskan bahwa Adam adalah manusia pertama.
Padahal justru ayat ini menunjukkan bahwa Adam bukanlah manusia pertama.
Melainkan adalah salah satu manusia yang terpilih dari sekian banyak manusia
yang telah ada pada jaman itu.
Ungkapan
‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.
Kalimat tersebut tidak menggunakan kata ‘menciptakan’ (khalq) melainkan
menggunakan kata ‘menjadikan’ (ja’ala). Jadi bukan mengadakan dari
“tidak ada” menjadi “ada”, melainkan
“memilih” dari yang sudah ada untuk menjadi khalifah bagi umat manusia pada
jaman itu.
Kemudian
penulis juga mengambil dari QS. Ali imran [3]: 59 “sesungguhnya masalah
(penciptaan) isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘jadilah’,
maka jadilah ia .”
Ada
dua hal yang harus dicermati dari ayat diatas. Pertama adalah analogi isa dan
Adam. Allah menyamakan proses penciptaan isa dan adam. Maka Isa dan Adam
diciptakan dari tanah (turab) kemudian diucapkan kepadanya kun maka
jadilah ia. Dari sini kita tahu bahwa ketika Allah mengatakan kun, penciptaan
itu ternyata berproses. Sebagaimana isa yang dilahirkan ibunya, keduanya dibuat
analogi, maka kita memperoleh kesimpulan sementara bahwa Adam pun dilahirkan sebagaimana
Isa.
Selain itu dari QS. Al-hijr [5]:
28-30. Penulis mengatakan bahwa Allah juga mengungkapkan perbedaan al-insan
dan al-basyar. Yang Allah ciptakan dari tanah liat kering yang berlumpur
itu adalah basyaron, yaitu species manusia sebelum al-insan, atau
nenek moyang al-insan yang memang sudah ada selama jutaan tahun
sebelumnya.
Kemudian ayat berikutnya—ayat
30—memberikan penjelasan bahwa basyaran itu masih harus disempurnakan lagi oleh Allah,
agar menjadi al-insan. Jadi keliru kalau kita menafsiri ayat tersebut
sebagai proses penciptaan Adam—manusia pertama—dari tanah liat. Karena konteks
diatas adalah cerita tentang penciptaan al-basyar secara kolektif, yang
ditumbuhkan oleh Allah dari tanah bumi.
Jadi kesimpulannya, essensi dari
buku Ternyata Adam Dilahirkan bukanlah menyebutkan adam di lahirkan oleh
siapa? lalu ibunya siapa? orangtuanya siapa?
keluarganya keturunan mana? Tetapi, isi buku ini lebih kepada bagaimana
ayat Al-Qur’an menerangkan proses penciptaan Adam, yang mana penciptaan Adam
selalu disamakan dengan penciptaan manusia pada umumnya.
Kelebihan dari buku Ternyata Adam
Dilahirkan yaitu, buku ini membawa pembaca untuk berfikir kritis dan
berfikir lebih tajam, serta secara tidak langsung pembaca diajak untuk mengkaji
Al-qur’an lebih dalam lagi. Buku ini memang terlihat kontradiksi dengan
pemahaman kita selama ini, tetapi jika dicermati dengan seksama, ternyata apa
yang dikatakan oleh penulis, begitu rasional, dan bisa dipahami dengan baik.
Kekurangannya, dengan disuguhkan
persoalan seperti dalam buku ini, di satu sisi pembaca diajak kritis, tetapi
implikasinya muncul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak ada ujungnya.
Sekalipun penulis sudah menjabarkan secara gamblang mengenai proses penciptaan
adam, tetapi tetap saja di benak pembaca masih mengganjal dengan pertanyaan ,”
lalu siapakah ibu yang melahirkannya ?” dan jika memang Adam bukanlah manusia
pertama, lalu nenek moyang manusia selama ini yang diciptakan paling pertama
itu siapa ? mengapa tidak dimuat di dalam Al-Qur’an, padahal Al-qur’an itu
kitab yang sangat lengkap tentang makhluk Tuhan.
Selain itu penulis tidak
mencantumkan referensi satu pun di dalam karya nya, sehingga ada dua
kemungkinan anggapan pembaca. Pertama, pembaca ragu dengan buku ini, apakah
buku ini benar-benar bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, ataukah tidak.
Kedua, pembaca menganggap bahwa penulis adalah filusuf yang mencari kebenaran
dengan logikanya sendiri, tanpa bantuan orang lain (referensi).
Terlepas dari kelebihan dan
kekurangan buku ini, perensensi pribadi memberikan aspirasi kepada penulis atas
karya-karya nya yang menarik untuk di kaji dan di diskusikan. Sehingga membuat
peresensi (khususnya) antusias untuk membaca buku-buku karya penulis lainnya.
Wallohu a’alam bisshowab….